Senin, 25 Oktober 2010

ESENSI PESERTA DIDIK



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan Islam merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen penting yang saling berhubungan. Di antara komponen yang ada dalam sistem tersebut adalah peserta didik. Pengkajian terhadap peserta didik memang menjadi bahan diskusi yang tetap aktual dan menarik, sebab peserta didik paling menentukan berhasil tidaknya proses pendidikan yang dilaksanakan dalam mencapai tujuan pendidikan. Untuk itu peserta didik mesti dibimbing, diarahkan, dan dikembangkan secara dinamis sesuai dengan relefansi kebutuhan dan tuntutan zaman, agar tidak menjadi generasi yang tidak berguna bahkan justru merusak.

Untuk itu, makalah yang sederhana ini akan menganilisis secara filosofis tentang peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam, dengan harapan kajian ini memberikan pemahaman yang lebih utuh tentang konsep peserta didik sehingga memberikan kontribusi yang jelas terhadap pengembangan keilmuan di bidang pendidikan Islam. Namun, apa yang tertulis secara eksplisit dalam makalah ini tentu kurang memadai untuk memenuhi harapan tersebut tanpa adanya kritik, saran dan diskusi lebih lanjut tentang gagasan-gagasan yang ada. Maka kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat diharapkan dari peserta diskusi untuk memenuhi harapan dimaksud.

1.2 Rumusan Masalah
Supaya memperoleh deskripsi yang lebih jelas dalam penyajian makalah ini, akan kami berikan batasan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Jelaskan definisi atau pengertian peserta didik dalam pendidikan islam ?
2. Jelaskan perkembangan peserta didik dalam pendidikan islam ?
3. Jelaskan karakteristik peserta didik dalam pendidikan islam ?
4. Jelaskan pesrta didik sebagai subjek dan objek dalam pendidikan islam?
5. Jelaskan Peran dan tanggung jawab peserta didik dalam pendidikan islam?
1.3 Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui definisi atau pengertian peserta didik dalam pendidikan islam.
2. Untuk mengetahui perkembangan peserta didik dalam pendidikan islam.
3. Untuk mengethaui peserta didik dalam pendidikan islam.
4. Untuk mengetahui peserta didik sebagai subjek dan objek dalam pendidikan islam.
5. Untuk mengetahui peran dan tanggung jawab peserta didik dalam pendidikan islam.
BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Pengertian Peserta Didik
Siapa peserta didik didik itu? Jawaban sederhanya, adalah manusia yang memmerlukan pendidikan. Peserta didik adalah makhluk yang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing, mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya.
Didalam pandangan yang lebih modern anak didik tidak hanya dianggap sebagai objek atau sasaran pendidikan, melainkan juga mereka harus diperlukan sebagai subjek pendidikan, diantaranya adalah dengan cara melibatkan peserta didik dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar. Berdasarkan pengertian ini, maka anak didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan pengarahan.
Dasar-dasar kebutuhan anak untuk memperoleh pendidikan, secara kodrati anak membutuhkan dari orang tuanya. Dasar-dasar kpdrati ini dapat dimengerti dari kebutuhan-kebutuhan dasar yang dimiliki oleh setiap anak dalam kehidupannya, dalam hal ini keharusan untuk mendapatkan pendidikan itu jika diamati lebih jauh sebenarnya mengandung aspek-aspek kepentingan, antara lain :
1). Aspek Paedogogis.
Dalam aspek ini para pendidik mendorang manusia sebagai animal educandum, makhluk yang memerlukan pendidikan. Dalam kenyataannya manusia dapat dikategorikan sebagai animal, artinya binatang yang dapat dididik, sedangkan binatang pada umumnya tidak dapat dididik, melainkan hanya dilatih secara dresser. Adapun manusia dengan potensi yang dimilikinya dapat dididik dan dikembangkan kearah yang diciptakan.
2). Aspek Sosiologi dan Kultural.
Menurut ahli sosiologi, pada perinsipnya manusia adalah moscrus, yaitu makhlik yang berwatak dan berkemampuan dasar untuk hidup bermasyarakat.
3). Aspek Tauhid.
Aspek tauhid ini adalah aspek pandangan yang mengakui bahwa manusia adalah makhluk yang berketuhanan, menurut para ahli disebut homodivinous (makhluk yang percaya adanya tuhan) atau disebut juga homoriligius (makhluk yang beragama).

2.2 Perkembangan Peserta Didik
Perkembangan kemampuan peserta didik sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya baik dalam aspek kognitif maupun aspek non-kognitif melalui tahap-tahap sebagai berikut:

1. Perkembangan kemampuan peserta didik usia sampai 5 tahun (TK).
Pada usia ini, anak (peserta didik) berada dalam periode “praoperasional” yang dalam menyelesaikan persoalan, ditempuh melalui tindakan nyata dengan jalan memanipulasi benda atau obyek yang bersangkutan. Peserta didik belum mampu menyelesaikan persoalan melalui cara berpikir logik sistematik. Kemampuan mengolah informasi dari lingkungan belum cukup tinggi untuk dapat menghasilkan transformasi yang tepat. Demikian juga perkembangan moral peserta didik masih berada pada tingkatan moralitas yang baku. Peserta didik belum sampai pada pemilihan kaidah moral sendiri secara nalar. Perkembangan nilai dan sikap sangat diperngaruhi oleh situasi yang berlaku dalam keluarga. Nilai-nilai yang berlaku dalam keluarga akan diadopsi oleh peserta didik melalui proses imitasi dan identifikasi. Keterkaitan peserta didik dengan suasana dan lingkungan keluarga sangat besar.

2. Perkembangan kemampuan peserta didik usia 6-12 tahun (SD).
Pada usia ini peserta didik dalam periode operasional konkrit yang dalam menyelesaikan masalah sudah mulai ditempuh dengan berpikir, tidak lagi terlalu terikat pada keadaan nyata. Kemampuan mengolah informasi lingkungan sudah berkembang sehingga transformasi yang dihasilkan sudah lebih sesuai dengan kenyataan. Demikian juga perkembangan moral anak sudah mulai beralih pada tingkatan moralitas yang fleksibel dalam rangka menuju ke arah pemilihan kaidah moral sendiri secara nalar. Perkembangan moral peserta didik masa ini sangat dipengaruhi oleh kematangan intelektual dan interaksi dengan lingkungannya. Dorongan untuk keluar dari lingkungan rumah dan masuk ke dalam kelompok sebaya mulai nampak dan semakin berkembang. Pertumbuhan fisik mendorong
peserta didik untuk memasuki permainan yang membutuhkan otot kuat.

3. Perkembangan kemampuan peserta didik usia 13-15 tahun (SLTP).
Pada usia ini peserta didik memasuki masa remaja, periode formal operasional yang dalam perkembangan cara berpikir mulai meningkat ke taraf lebih tinggi, absrak dan rumit. Cara berpikir yang bersifat rasional, sistematik dan ekploratif mulai berkembang pada tahap ini. Kecenderungan berpikir mereka mulai terarah pada hal-hal yang bersifat hipotesis, pada masa yang akan datang, dan pada hal-hal yang bersifat abstrak. Kemampuan mengolah informasi dari lingkungan sudah semakin berkembang.

2.3 Kategori peserta didik
Peserta didik juga dikenal dengan istilah lain seperi Siswa, Mahasiswa, Warga Belajar, Palajar, Murid serta Santri.
- Siswa adalah istilah bagi peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
-Mahasiswa adalah istilah umum bagi peserta didik pada jenjang pendidikan perguruan tinggi
-Warga Belajar adalah istilah bagi peserta didik nonformal seperti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM)
-Pelajar adalah istilah lain yang digunakan bagi peserta didik yang mengikuti pendidikan formal tingkat menengah maupun tingkat atas
- Murid memiliki definisi yang hampir sama dengan pelajar dan siswa.
-Santri adalah istilah bagi peserta didik pada jalur pendidikan non formal, khususnya pesantren atau sekolah-sekolah yang berbasiskan agama islam.
Pendidikan merupakan bantuan bimbingan yang diberikan pendidik terhadap peserta didik menuju kedewasaannya. Sejauh dan sebesar apapun bantuan itu diberikan sangat berpengaruh oleh pandangan pendidik terhadap kemungkinan peserta didik utuk di didik.
Sesuai dengan fitrahnya manusia adalah makhluk berbudaya, yang mana manusia dilahirkan dalam keadaan yang tidak mengetahui apa-apa dan ia mempunyai kesiapan untuk menjadi baik atau buruk.


2.4 Peserta Didik Sebagai Subjek dan Objek
Didalam pandangan yang lebih modern anak didik tidak hanya dianggap sebagai objek atau sasaran pendidikan, melainkan juga mereka harus diperlukan sebagai subjek pendidikan, diantaranya adalah dengan cara melibatkan peserta didik dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar.
Orientasi pendidikan Indonesia selama ini memperkuat kesan bahwa guru atau dosen cenderung memperlakukan peserta didik sebagai objek daripada subjek. Guru atau dosen lebih banyak berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan bidang studi dan indoktrinator, daripada sebagai fasilitator pembelajaran.
Objek dan subjek evaluasi pendidikan
A. Objek Evaluasi
Yang dimaksud dengan objek atau sasaran evaluasi pendidikan ialah segala sesuatu yang bertalian dengan kegiatan/proses pendidikan, yang dijadikan titik pusat perhatian/pengamatan, karena pihak penilai/evaluator ingin memperoleh informasi tentang kegiatan/proses pendidikan tersebut. Salah satu cara untuk mengetahui objek dari evaluasi pendidikan adalah dengan jalan menyorotinya dari tiga segi, yaitu segi input; transformasi; dan output.
1. Input
Dalam dunia pendidikan, khususnya dalam proses pembelajaran di sekolah, input tidak lain adalah calon siswa. Calon siswa sebagai pribadi yang utuh, dapat ditinjau dari segi yang menghasilkan bermacam-macam bentuk tes yang digunakan sebagai alat untuk mengukur. Aspek yang bersifat rohani setidak-tidaknya mencakup 4 hal.
a. Kemampuan
Untuk dapat mengikuti program pendidikan suatu lembaga/sekolah/institusi maka calon peserta didik harus memiliki kemampuan yang sepadan atau memadai, sehingga nantinya peserta didik tidak akan mengalami hambatan atau kesulitan. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur kemampuan ini disebut Attitude Test.
b. Kepribadian
Kepribadian adalah sesuatu yang terdapat pada diri manusia dan menampakkan bentuknya dalam tingkah laku. Dalam hal-hal tertentu, informasi tentang kepribadian sangat diperlukan, sebab baik-buruknya kepribadian secara psikologis akan dapat mempengaruhi mereka dalam mengikuti program pendidikan. Alat untuk mengetahui kepribadian seseorang disebut Personality Test.
c. Sikap
Sebenarnya sikap ini merupakan bagian dari tingkah laku manusia sebagai gejala atau gambaran kepribadian yang memancar keluar. Namun karena sikap ini merupakan sesuatu yang paling menonjol dan sangat dibutuhkan dalam pergaulan maka informasi mengenai sikap seseorang penting sekali. Alat untuk mengetahui keadaan sikap seseorang dinamakan Attitude Test. Oleh karena tes ini berupa skala, maka disebut dengan Attitude Scale.
d. Inteligensi
Untuk mengetahui tingkat inteligensi seseorang digunakan tes inteligensi yang sudah banyak diciptakan oleh para ahli. Seperti, tes Binet-Simon (buatan Binet dan Simon), SPM, Tintum, dsb. Dari hasil tes akan diketahui IQ (intelligence Qoutient) yaitu angka yang menunjukkan tinggi rendahnya inteligensi seseorang tersebut.

2. Transformasi
Transformasi yang dapat diibaratkan sebagai “mesin pengolah bahan mentah menjadi bahan jadi”, akan memegang peranan yang sangat penting. Ia dapat menjadi faktor penentu yang dapat menyebabkan keberhasilan atau kegagalan dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditentukan; karena itu objek-objek yang termasuk dalam transformasi itu perlu dinilai/dievaluasi secara berkesinambungan. Unsur-unsur dalam transformasi yang menjadi objek penilaian demi diperolehnya hasil pendidikan yang diharapkan antara lain:
a. Kurikulum/materi pelajaran,
b. Metode pengajaran dan cara penilaian,
c. Sarana pendidikan/media pendidikan,
d. Sistem administrasi,
e. Guru dan personal lainnya dalam proses pendidikan.

3. Output
Sasaran evaluasi dari segi output adalah tingkat pencapaian atau prestasi belajar yang berhasil diraih peserta didik setelah mereka terlibat dalam proses pendidikan selama jangka waktu yang telah ditentukan.
Alat yang digunakan untuk mengukur pencapaian ini disebut Achievement Test.
Peserta Didik Sebagai Subjek Belajar
Peserta didik adalah salah satu komponen manusiawi yang menempati posisi sentral dalam proses belajar mengajar. Didalam proses belajar-mengajar, peserta didik sebagai pihak yang ingin meraih cita-cita dan memiliki tujuan dan kemudia ingin mencapainya secara optimal. Jadi dalam proses belajar mengajaryang perlu diperhatikan pertama kali adalah peserta didik, bagaimana keadaan dan kemampuannya, baru setelah itu menentukan komponen-komponen yang lain. Apa bahan yang diperlukan, bagaimana cara yang tepat untuk bertindak, alat dan fasilitas apa yang cocok dan mendukung, semua itu harus disesuaikan dengan keadaan ataukarakteristikpeserta didik. Itulah sebabnya peserta didik merupakan subjek belajar. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi oleh peserta didik sebagai subjek belajar yaitu :
1.Mememahami dan menerima keadaan jasmani
2.Memperoleh hubungan yang memuaskan dengan teman-teman sebayanya.
3.Mencapai hubungan yang lebih “matang” dengan orang dewasa
4.Mencapai kematangan Emosional
5.Menujukepada keadaan berdiri sendiri dalam lapangan finansial.
6.Mencapai kematangan intelektual
7.Membentuk pandangan hidup
8.Mempersiapkan diri untuk mendirikan rumah tangga sendiri.
2.5 Peran dan Tanggung Jawab Peserta Didik
Pendidikan merupakan bantuan bimbingan yang diberikan pendidik terhadap peserta didik menuju kedewasaannya. Sejauh dan sebesar apapun bantuan itu diberikan sangat berpengaruh oleh pandangan pendidik terhadap kemungkinan peserta didik untuk di didik.
Sesuai dengan fitrahnya manusia adalah makhluk berbudaya, yang mana manusia dilahirkan dalam keadaan yang tidak mengetahui apa-apa dan ia mempunyai kesiapan untuk menjadi baik atau buruk.
Kebutuhan Peserta Didik
Pemenuhan kebutuhan siswa disamping bertujuaan untuk memberikan materi kegiatan setepat mungkin, juga materi pelajaran yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan biasanya menjadi lebih menarik. Dengan demikian akan membantu pelaksanaan proses belajr-mengajar. Adapun yang menjadi kebutuhan siswa antara lain :
1.Kebutuhan Jasmani
Hal ini berkaitan dengan tuntutan siswa yang bersifat jasmaniah.
1.Kebutuhan Rohaniah
Hal ini berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan siswa yang bersifat rohaniah
1.Kebutuhan Sosial
Pemenuhan keinginan untuk saling bergaul sesasama peserta didik dan Pendidik serta orang lain. Dalam halini sekolah harus dipandang sebagai lembagatempat para siswa belajar, beradaptasi, bergaul sesama teman yang berbeda jenis kelamin, suku bangsa, agama, status sosial dan kecakapan.
1.Kebutuhan Intelektual
Setiap siswa tidak sama dalam hal minat untuk mempelajari sesuatu ilmu pengetahuan. Dan peserta didik memiliki minat serta kecakapan yang berbeda beda. Untuk mengembangkannya bisa ciptakan pelajaran-pelajaran ekstra kurikuler yang dapat dipilih oleh siswa dalam rangkan mengembangkan kemampuan intelektual yang dimilikinya.
Hakikat Peserta Didik Sebagai Manusia
Ada beberapa pandangan mengenai Hakikat Peserta Didik Sebagai Manusia yaitu:
1.Pandangan Psikoanalitik
Beranggapan bahwa manusia pada hakiktanya digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam dirinya yang bersifat instingtif.
1.Pandangan Humanistik
Berpendapat bahwa manusia memiliki dorongan untuk mengarahkan dirinya ketujuan yang positif. Oleh karenanya dikatakan bahwa manusia itu selalu berkembang dan berubah untuk menjadi pribadi yang lebih maju dan sempurna
1.Pandangan Martin Buber
Berpendapat bahwa hakikat manusia tidak dapat dikatakan ini atau itu. Manusia merupakan suatu keberadaan yang berpotensi, namun dihadapkan pada kesemestaan alam, sehingga manusia itu terbatas.
1.Pandangan Behavioristik
Pada dasarnya menganggap bahwa manusia spenuhnya adalah makhluk reaktif yangtingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor yang datang dari














BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Pendidikan Islam merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen penting yang saling berhubungan. Di antara komponen yang ada dalam sistem tersebut adalah peserta didik. Pengkajian terhadap peserta didik memang menjadi bahan diskusi yang tetap aktual dan menarik, sebab peserta didik paling menentukan berhasil tidaknya proses pendidikan yang dilaksanakan dalam mencapai tujuan pendidikan. Untuk itu peserta didik mesti dibimbing, diarahkan, dan dikembangkan secara dinamis sesuai dengan relefansi kebutuhan dan tuntutan zaman, agar tidak menjadi generasi yang tidak berguna bahkan justru merusak.
Dan bahwasannya peserta itu didik itu mempunyai tahapan-tahapan dalam perkembanganya sesuai dengan tugas perkembangannya baik segi kognitif ataupun non kognitif.
Dalam pendidikan ini peserta didik dibagi beberapa macam yaitu yang terdari dari siswa, mahasiswa, pelajar, murid juga santri. Didalam pandangan yang lebih modern anak didik tidak hanya dianggap sebagai objek atau sasaran pendidikan, melainkan juga mereka harus diperlukan sebagai subjek pendidikan, diantaranya adalah dengan cara melibatkan peserta didik dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar.
Orientasi pendidikan Indonesia selama ini memperkuat kesan bahwa guru atau dosen cenderung memperlakukan peserta didik sebagai objek daripada subjek. Guru atau dosen lebih banyak berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan bidang studi dan indoktrinator, daripada sebagai fasilitator pembelajaran.






DAFTAR PUSTAKA

Nur Uhbiyati., 1998, Ilmu Pendidikan Islam., CV. Pustaka Setia., Bandung
Ahmad Tafsir., 2001, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam., PT.RemajanRosdakarya, Bandung
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta 2005.
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Persepektif Islam, Bandung, Remaja Rosda Karya, 1984.
Suwarno, Pengantar Ilmu Pendidikan, Jakarta :Rineka cipta, 1981

Rabu, 06 Oktober 2010

MODEL-MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM DAN FUNGSINYA BAGI GURU



A. Latar Belakang.

Model-model pengembangan kurikulum memegang peranan penting dalam kegiatan pengembangan kurikulum. Sungguh sangat naif bagi para pelaku pendidikan di lapangan terutama guru. kepala sekolah, pengawas bahkan anggota komite sekolah jika tidak memahami dengan baik keberadaan, kegunaan dan urgensi setiap model-model pengembangan kurikulum.
Mengapa guru dituntut untuk mengetahui konsep-konsep tentang kurikulum, dalam hal ini model-model pengembangan kurikulum ? Karena pemahaman tentamng kurikulum itu sendiri merupakan salah satu unusr kompetensi pedagogik yang harus dimilki oleh seorang guru, sesuai dengan bunyi pasal 10, Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentanag Guru dan Dosen, yang mengatakan “ bahwa kompetensi guru itu mencakup kompetensi pedagogik, kompetrensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi professional.”
Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang salah satunya kemampuan pengembangan kurikulum. Pada tahun 2006 pemerintah menerapkan pemberlakuan tentang kurikulum baru. Yang berlaku sebagai pengganti kurikulum 2004 yaitu Kurkulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum ini merupakan inovasi baru dalam bidang kurikulum pendidikan di Indonesia, karena dengan adanya KTSP pihak satuan pendidikan dituntut kemampuannya dalam menyusun kurikulum sesuai dengan keadaan,atau kondisi dan keperluan stauan sekolah tersebut yang lebih dikenal dengan system desentralisasi. Yang tentunya ini merupakan perbedaan pada kurikulum sebelumnya yang lebih menitikberatkan pada sekolah untuk melaksanakannya saja sedangkan yang membuat dan menyusunnya adalah pemerintah atau disebut juga denngan system sentralisasi.
Dalam tuntutan kemampuan penyususnan KTSP bagi stekholder-stekholder di sekolah, maka konsep-konsep kurikulum terutama model –model pengembanagn kurikulum patut untuk dipahami dan dimengerti oleh guru, agar dalam pengembanagn KTSP mendapatkan rambu-rambu yang jelas.

Bagaimanakah sebuah kurikulum menjadi sebuah kebijaksanaan yang diberlakukan oleh pemerintah? Apakah orang-orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan mengetahui bagaimana proses terjadinya sebuah kurikulum ? Model-model pengembangan kurikulum yang manakah, yang digunakan oleh pemerintah untuk menetapkan sebuah kurikulum yangh berlaku? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang belum terjawab oleh kita, yang bergelut dalam dunia pendidikan.
Petanyaan- pertanyaan di atas ditambah lagi dengan kenyataan yang ada sekarang, bahwa guru-guru ataupun stekholder-stekholder yang ada di sekolah boleh dikatakan mungkin belum pernah untuk menerima dan memahami model-model pengembanagn kurikulum , hal ini dapat dirasakan oleh penulis selama tiga belas tahun menjadi tenaga pendidik. Atas dasar itulah, maka tulisan ini membahas tentang model-model pengembangan kurikulum sebagai sumbangan pemikiran pengetahuan, kepada para pembaca demi kemajuan pengembangan kurikulum,khususnya bagi yang berkepentingan dalam mendalami model-model tersebut.
B.Pengertian Model Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum mempunyai makna yang cukup luas, menurut Nana Syaodih Sukmadinata pengembangan kurikulum bisa berarti penyusunan kurikulum yang sama sekali baru (curriculum construction), bisa juga menyempurnakan kurikuluym yang telah ada (curriculum improvement).(200:1). Sedangkan model adalah abstraksi dunia nyata atau representasi pristiwa kompleks atau sistem, dalam bentuk naratif, matematis, grafis serta lambang-lambang lainnya. (Wina Sanjaya 2007:177).
Dari pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa model pemngembanagn kuirkulum adalah berbagai bentuk atau model yang nyata dalam penyususnan kurikulum yang baru ataupun penyempurnaan kurikulum yang telah ada.
Dalam pengembangan kurikulumn tidak dapat lepas dari berbagai faktor maupun asfek yang mempengaruhinya, seperti cara berpikir, sistem nilai (nilai moral, keagamaan, politik, budaya, dan sosial), proses pengembangan kebutuhan peserta didik, lingkup (scope) dan urutan (sequence) bahan pelajaran, kebutuhan masyarakat maupun arah program pendidikan.
C.Model model Pengembangan Kurikulum
Berdasarkan perkembangan dan pemikmiran para ahli kurikulum, maka dewasa ini telah banyak disajikan model-model pengembangan kurikulum. Setiap model pengembanagn kuirkulum tersesbut memilkiki karakteristik dan ciri khusus pada pola desain, implementasi, evaluasi dan tindak lanjut dalam pembelajaran.
Nana Syaodih Sukmadinata membagi membagi model-model pengembanagan kuirkulum menjadi delapan model yaitu:1. the administrative (line staff model) model, 2. the grass roots model, 3. Beauchamp”s system, 4.the de4monstration model, 5.Taba”s inverted model, 6.Rongers”s in terpersonal relation model, 7.the systematic action reseach model, 8 dan emerging technical model. (2008:161).
Selain itu Ase Suherman dkk membangi model pengembanagn kurikulum menjadi: model Ralph Taba, model administrative, model Grass Roots, model demonstrasi, model Miller-Seller, model Taba”s (inverted model) (2006 60-66). Sementara itu Wina sanjaya membagi model pengembangan kurikulum menjadsi empat bagian yaitu: model Tyler, model Taba, model Oliva dan model Beauchamp.(2008: 82-91).
Di bawah ini akan di paparkan tentang model-model pengembangan kuirkulum tersebut, saru persatu sebagai berikut:
The Administrative (line staff model) Model.
Model pengembangan kurikulum ini merupakan model pengembangan paling lama dan paling banyak dikenal. Diberi nama model administrasi atau line staff karena inisiatif dan gagasan pengembangan datang dari para administrator pendidkan dan menggunakan prosedur administrasi.(Nana Syaodih Sukmadinata 2008 : 161).
Model pengambangan ini bersifat sentralisasi, yaitu dengan wewenang adminstrasinya, administreator pendidikan (dirjen, direktur atau kepala dinas pendidikan propinsi membentuk suatu komisi yang anggota-anggotanya terdiri dari tim yang terdiri dari pejabat di bawahnya seperti ahli pendidikan, ahli kuirkulum, ahli disiplin ilmu dan para tokoh dari dunia kerja dan perusahaan(tim pengarah). Tugas tim ini adalah merumuskan konsep-konsep dasar, landasan-landasan, kebijaksanaan, dan strategi utama dalam pengembangan kurikulum. Setelah konsep ini tersusun, administrator pendidikan membentuk kembali sebuah tim yang disebut tim kerja (anggotanya para ahli pendidikan/kurikulum, ahli disiplin ilmu dari perguruan tinggi, dan guru bidang studi yang senior) tim ini bertugas menyusun kurikulum yang sesungguhnya yang lebih oprasional, dijabarkan dalam konsep-konsep dan kebijakan dasar yang telah digariskan oleh tim pengarah mulai dari penyusunan tujuan sampai pada tahap rencana pelaksanaan evaluasi. Setelah selesai maka hasil kerja tim kerja dikaji ulang oleh tim pengarah. Dan setelah mendapatkan beberapa penyempurnaan maka administrator menetapkan mulai berlakunya kurikulum tersebut dan memerintahkan kepada sekolah-sekolah untuk melaksanakannnya. Pada waktu pelaksanaan tim administrator selalu melakukan pemantauan.
Kurikulum dengan pengembangan seperti ini dapat kita lihat dan rasakan pada pelaksanaan kurikulum tahun 1968, 1975, 1984,1994 dan 2004 yang lebih bersifat sentralisasi.
The graas roots model
Model pengembanagan kurikulum ini merupakan kebalikan dari model the administratif model. Model ini lahir dari asumsi yang dikemukakan olewh Stanley dan Shores yang dikurip dari Nana Syaodih Sukmadinata ”…..guru adalah perencana, pelaksana, dan juga penyempurna dari pengajaran di kelasnya. Dialah yang paling tahu kebutuhan kelasnya, oleh karena itu dialah yang paling kompeten menyusun kurikulum bagi kelasnya.” (2008: 163). Alur pengembangannya adalah guru, selompok guru atau seluruh guru disuatu sekolah mengadakan upaya pengembangan kurikulum. Pengembangan dapat berkenaan dengan suatu komponen kuirkulum, satu atau bebarapa bidang studi atau pun seluruh bidang studi dan seluruh komponen kurikulum.Kemudian kurikulum tersebut dapat diberlakukan sebagai pedoman dalam pelaksanan pendidikan atau pengajaran di sekolah tersebut. Kurikulum ini sangat bersifat desentralisasi, karena segala ide mulai dari perencanaan penyusunan sampai pelaksanaannya dilapangan adalah hak otonomi sekolah tersebut, dan pemerintah atau pengambil kebijaksaan yang lebih tinggi dia atasnya tidak mempunyai kewenangan untuk mengubahnya.
Beauchamp”s system
Model pengembangan ini dikemukan oleh seorang ahli yang bernama Beauchamp. Model ini, yang dikutip dari Nana Syaodih Sukmadinata terdiri dari lima tahap, yaitu:
Pengambil kebijakasaan menetapkan arena atau lingkup wilayah yang akan dicakup.
Menetapkan personalia yang terlibat dalam pengembangan kuirkulum. Orang yang telibat terdiri dari empat kategori yaitu: 1). Para ahli pendidikan /kurikulum yang ada pada pusat pengembangan kuirkulum, dan para ahli dari bidang ilmu luar,2). Para ahli pendidikan dari perguruan tinggi atau sekolah dan guru-guru terpilih, 3). Para profesional dalam sistem pendidikan, 4). Profesional lain dan tokoh-tokoh masyarakat.
Organisasi dan prosedur pengembangan kurikulum. Pada langkah ini ditetapkan prosedur dalam penyusunan rumusan tujuan umum dan khusus, memilih isi dan pengalaman belajar, serta kegiatan evaluasi dan menentukan keseluruhan desain kurikulum. Pada tahap ini terdiri dari lima langkah yaitu: 1). Membentuk tim pengembang kurikulum; 2). Mengadakan peniliaan atau penelitian terhadap kurikulum yang ada dan yang sedang digunakan; 3). Studi penjagaan tentang kemungkinan penyusunan kurikulum baru; 4) merumuskan kreteris-kreteria bagi penetuan kuirkulum baru; dan 5). Penyusunan dan penulisan kurikulum baru.
Implementaqsi kurikulum
Evalauasi kurikulum ( evalusai pelaksaaan kurikulum oleh guru, evaluasi desain kurikulum, evaluasi hasil belajar siswa, dan evaluasi dari keseluruhan sistem kurikulum).(2008:163-165).
The demosntration model
Model ini pada dasarnya bersifat grass roots, yang datang dari bawah. Bedanya pada model grass roots pengembangan kuirkulum adalah murni dari oaring-orang yang berada dalam suatu sekolah tanpa campur tangan oleh pemerintah atau para ahli.
Model ini diprakarsai oleh guru atau sekelompok guru yang bekerja sama dengan ahli yang bermaksud mengadakan perbaikan kurikulum. Menurut Smith, Stanley dan Shores ada dua variasai dalam model ini yaitu: pertama, sekelompok guru dari suatu sekolah atau beberapa sekolah ditunjuk oleh pengambil kebijaksaan untuk melakukan percobaan tentang salah satu atau beberapa segi/komponen kurikulum, kedua, kurang bersifat formal yaitu beberapa orang guru merasa kurang puas dengan kurikulum yang ada, kemudian mereka mencoba mengadakan penelitian, perbaikan dan pengembangan sendiri.
Taba”s inverted model
Menurut Taba pengembangan model ini lebih mendorong inovasi dan kreativitas guru-guru, karena bersifat induktif, yang merupakan inverse atau arah terbalik dari model tradisional. Model ini terdiri dari lima langkah yaitu:
Mengadakan unit-unit eksprimen bersama guru-guru, unit yang dieksprimen meliputi: mendiagnosis kebutuhan, merumuskan tujuan-tujuan khusus, memilih isi, mengorganisasi isi, memilih pengalaman belajar, mengorganisasi pengalaman belajar, mengevaluasi dan melihat sekuens dan keseimbangan.
Menguji unit eksprimen, yang bertujuan untuk mengetahui validitas, keperaktisan serta serta kelayakan penggunaannya.
Mengadakan revisi dan konsolidasi (tahap perbaikan dan penyempurnaan serta penarikan kesimpulan).
Pengembangan keseluruhan kerangka kurikulum yang dilakukan untuk mengetahui apakah konsep-konsep dasar atau landasan-landasan teori yang dipakai sudah masuk atau sesuai.
Implementasi dan disemenasi
Roger”s interpersonal relations model
Model ini lahir dari asumsi yang menurut Roger bahwa manusia berada dalam proses perubahan (becoming, dveloping, chaning), sesungguhnya ia mempunyai kekuatan dan potensi untuk berkembang sendiri, tetapi karena ada hambatan-hambatan tertentu ia membutuhkan orang lain untuk membantu memperlancar atau mempercepat perubahan tersebut.(Nana Syaodih Sukmadinata, 2008:167). Pendidikan juga tidak lain merupakan upaya untuk membantu memperlancar dan mempercepat perubahan ke arah perkembangan. Guru atau pendidik bukan pemberi informasi apalagi penentu perkembangan anak, mereka hanyalah pendorong dan pemelancar perkembangan anak. Roger mengemukakan model ini terdiri dari empat langkah yaitu:
a.Pemilihan target dari sistem pendidikan, pada langkah ini kreteria yang harus ada adalah adanya kesediaan dari pejabat pendidikan untuk turut serta dalam kegiatan kelompok yang intensif. Selama satu minggu para pejabat pendidikan/administrator melakukan kegiatan kelompok dalam suasana yang relaks, tidak formal.
b. Partisifasi guru dalam pengalaman kelompok yang intensif. Guru dan pejabat pendidikan bersama-sama mengikuti kegiatan kelompok yang intesif, dari pertemuan tersebut diperoleh hal-hal yang merupakan ide-ide dalam pengembangan kurikulum di lapangan.
c. Pengembangan pengalaman kelompok yang intensif untuk satu kelas atau unit pelajaran. Siswa dilibatkan dalam pertemuan kelompok intensif antara pejabat pendidikan dan guru.
d. Partisifasi orang tua dalam kegiatan kelompok, artinya orang tua telibat juga dalam kegiatan intensif kelompok tersebut.
Model pengembanmgan ini merupakan kulminasi dari semua kegiatan kelompok di atas, berkat berbagai bentuk aktivitas dalam intreraksi ini individu akan berubah.
The systematic action-research model
Model ini didasarkan pada asumsi bahwa perkembangan kurikulum merupakan perubahan sosial. Sesuai dengan asumsi tersebut model ini menekankan pada: hubungan insana, sekolah dan organisasi masyarakat, dan wibawa dari pengetahuan profesional. Model ini terdiri dari dua langkah yaitu:
Mengadakan kajian secara seksama tentang masalah-masalah kurikulum, berupa pengumpulan data yang bersifat menyeluruh, dan mengidentifikasi faktor-faktor, kekuatan dan kondisi yang mempengaruhi masalah tersebut.
Implementasi dari keputusan yang diambil dalam tindakan pertama, kegiatan ini segera diikuti oleh kegiatan pegumpulan data dan fakta-fakta. Data-data tersebut berfungsi: menyiapkan data bagi evaluasi tindakan, sebagai bahan pemahaman tentang masalah yang dihadapi, sebagai bahan untuk menilai kembali dan mengadakan modifikasi, dan sebagai bahan unutk menentukan tindakan lebih lanjut.
Emerging technical models.
Perkembangan bidang teknologi dan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai efesiensi efektivitas dalam bisnis, juga mepengaruhi perkebangan model-model kurikulum. Hal ini di dasarkan pada:
The berhavioral analisys model, menekankan penguasaan prilaku atau kemampuan. Suatu kemampuan atau prilaku yang kompleks diuraikan menjadi prilaku-prilaku yang sederhana, yang tersusun secara hirarkis.
The system analisys model, berasal dari gerakan efesiensi bisnis. Langkah pertama dalam model ini adalah menentukan spesifikasi perangkat hasil belajar yang harus dikuasai siswa. Langkah kedua adalah menyusun instrumen untuk menilai ketercapaian-ketercapaian hasil belajar yang harus dikuasai siswa. Langkah ketiga mengedintifikasi tahap-tahap ketercapaian hasil serta perkiraan biaya yang diperlukan. Langkah keempat, membandingkan biaya dan keuntungan dari beberapa program pendidikan.
The computer-based model, suatu model pengembangan kurikulum dengan memamafaatkan komputer. Pengembangan dimulai dengan mengidentifikasi seluruh unit-unit kurikulum, tiap unit kurikulum telah memiliki rumusan tentang hasil-hasil yang diharapkan. Setelah diadakan pengelolaan disesuaikan dengan kemampuan dan hasil-hasil yang dicapai siswa disimpan dalam komputer.
9.Model Saylor, Alexander, dan lewis

Menurut Saylor, Alexander, dan Lewis kurikulum merupakan sebuah perencanaan untuk menyediakan seperangkat kesempatan belajar bagi individu supaya menjadi terdidik. Perencanaan kurikulum merupakan beberapa rencana unit-unit kecil pada bagian-bagian tertentu dari sebuah kurikulum. Langkah-langkah pengembangan kurikulum model Saylor dkk adalah:

1. Perumusan Goals dan Objective

Saylor dkk. mengklasifikasikan tujuan menjadi empat domain, yaitu pengembangan pribadi, kompetensi sosial,keterampilan belajar yang berkesinambungan, dan spesialisasi.

2. Merancang Kurikulum, yaitu tahapan dalam menentukan kesempatan belajar untuk setiap domain, bagaimana dan kapan kesempatan belajar itu diberikan.

3. Implementasi Kurikulum, yaitu tahapan untuk menentukan metode dan strategi yang akan digunakan untuk menjalin hubungan dan berinteraksi dengan para siswa.

4. Evaluasi Kurikulum meliputi:

a. Evaluasi program pendidikan sekolah secara keseluruhan, meliputi tujuan institusional, sub tujuan institusional, tujuan instuksional, efektivitas instruksional,dan prestasi siswa dalam beberapa bagian program sekolah.

b. Evaluasi program untuk menentukan apakah tujuan institusional dan tujuan instruksional sudah tercapai atau belum?
10.Model Tyler
Model kurikulum ini termasuk model kurikulum yang paling klasik dan mendasari model-model yang lain. Dalam bukunya yang mahsyur yaitu; basic principles of Curriculum and Instruction. Tyler,(Oliva 199 ; 165 ) merekomendasikan bahwa perencana kurikulum untuk mengindetifikasi tujuan umum dengan mengumpulkan data dari tiga sumber : siswa, kehidupan kontemporer di luar sekolah, dan mata pelajaran. Setelah mengindetifikasi beberapa tujuan umum, perencana kurikulum mengisi dengan memilah menjadi dua aliran utama; pendidikan dan filsafat pendidikan bagi sekolah dan psikologi pembelajaran. Tujuan umum dengan meningkatkan menjadi tujuan instruksional khusus. Dalam menggambarkan tujuan umum, Tyler merujuknya sebagai tujuan, tujuan pendidikan jangka menengah dan tujuan pendidikan jangka panjang.
Tyler,(Hamalik 2000:39) merumuskan empat pertanyaan sentral yang meminta jawaban secara rasional bagi perencanaan kurikulum ialah :

1. Apa tujuan yang harus dicapai oleh sekolah ?

2. Apa pengalaman-pengalaman belajar yang dapat disediakan untuk mencapai tujuantujuan tersebut

3. Bagaimana mengorganisasikan pengalaman-pengalaman tersebut ?
4. Bagaimana kita dapat memutuskan apakah tujuan-tujuan tersebut tercapai ?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut menunjukkan, bahwa perencanaan kurikulum dapat menjadi suatu proses yang dikontrol dan logis, dimana langkah pertama adalah yang paling penting.
Kerangka kerja ini besar pengaruhnya di USA, karena keputusan-keputusan utama mengenai isi kurikulum dibuat oleh dewan pendidikan setempat(lokal). Dengan kerangka kerja ini, publik dapat menilai pekerjaan sekolah dengan membandingkan antara tujuan – tujuan dengan hasil yang dicapai.
Pengembangan kurikulum model Tyler ini mungkin yang terbaik, dengan penekanan khusus pada fase perencanaan. Walaupun Tyler mengajukan model pengembangan kurikulum secara komprehensif tetapi bagian pertama dari modelnya(seleksi tujuan) menerima sambutan yang hangat dari pada pendidikan.
Langkah – langkah Pengembangan Kurikulum
Langkah 1: Tyler merekomendasikan, bahwa perencana kurikulum agar menindetifikan tujuan umum( tentative general objectives ) dengan mengumpulkan data dari tiga sumber, yaitu : kebutuhan peserta didik, masyarakat( fungsi yang diperlukan ), dan subject matter.
Langkah 2 : Setelah mengidentifikasikan beberapa buah tujuan umum, perencana merifinenya dengan cara menyaring melalui dua saringan, yaitu filosofi pendidikan dan psikologi belajar. Hasilnya akan menjadi tujuan pembelajaran khusus dan menyebutkan juga pendidikan sekolah dan filosofi masyarakat sebagi saringan pertama untuk tujuan ini.
Selanjutnya perlu disusun garis-garis besar nilai-nilai yang didapat dan mengilustrasikan dengan memberi teknan pada empat tujuan demokratis. Untuk melaksanakan penyaringan, para peserta didik harus menjelaskan prinsip-prinsip belajar yang baik, dan psikologi belajar membeirkan ide melaksanakan kegiatan secara efisien. Tyler pun menyarankan agar pendidikan memberi perhatian kepada cara belajar yang dapat :
• Mengembangkan kemampuan belajar

• Menolong dalam memperoleh informasi

• Mengembangkan sikap masyarakat

• Mengembangkan minat

• Mengembangkan sikap kemasyarakatan
Langkah 3 : menyelaksi pengalaman belajar yang menunjang pencapaian tujuan. Penentuan pengalaman belajar harus mempertibangkan persepsi dan pengalaman yang telah dimiliki oleh peserta didik.
Langkah 4: Mengorganisasikan pengalaman belajar ke dalam unit-unit dan menggambarkan barbagai prosedur evaluasi.
Langkah 5: Mengarahkan dan mengurutkan pengalaman-pengalaman belajar dan mengaitkan dengan evaluasi terhadap keefektifitan perencanaan dan pelaksanaan.
Langkah 5: Evaluasi pengalaman belajar. Evaluasi merupakan komponen penting dalam pengembangan kurikulum.
Sehubungan dengan hal tersebut Tyler (1949) memperingatkan agar dibedakan antara konten ( isi) pelajaran atau kegiatan-kegiatan belajar dengan pengalaman belajar, karena pengalaman belajar merupakan pengalaman yang diperoleh dan dialami anak-anak didik sebagai hasil belajar dan interaksi mereka dengan konten(isi) dan kegiatan belajar. Untuk mengembangkan pengalaman belajar yang mereka peroleh harus bermuara pada pemberian pengalaman para belajar yang dirancang dengan baik dan dilaksanakan dengan benar. Dari beberapa konsepsi kurikulum diatas kelihatan bahwa kurikulum dapat dilihat dari segi yang sempit atau dari segi yang luas ( sebagai pengalaman yang diperoleh di sekolah atau diluar sekolah ).
11. Model Oliva
Menurut Oliva dalam membuat rencana tentang perkembangan kurikulum terbagi menjadi tiga kriteria;sederhana, komprehensif, systematik .Meskipun model ini menggambarkan beberapa proses yang berasumsi pada model sederhana.model-model ini terdiri dari 12 komponen.Kedua belas komponen menggambarkan langkah demi langkah pengembangan kurikulum yang komprehensif.Model tersebut digambarkan dalam bentuk segi empat dan lingkaran.Segi empat menggambarkan tentang proses perencanaan sedangkan lingkaran menggambarkan proses operasional.Proses dimulai dengan komponen I, karena pada fase ini para pengembang kurikulum menentukan tujuan dari pendidikan serta landasan filosophy dan psikologi.Tujuan ini diyakini berasal dari kebutuhan masyarakaty dan kebutuhan hidup individu dimasyarakat.Komponen ini menggabungkan konsep yang sama dengan tyler.
Komponen II membutuhkan sebuah analisis kebutuhan masyarakat dimana suatu sekolah berada,kebutuhan siswa dilayani oleh masyarakat.Komponen III dan IV disebut sebagai tujuan khusus kurikulum berdasarkan tujuan, keyakinan. Tugas dari komponen V adalah untuk mengorganisir dan mengimplementasikan kurikulum, membentuk dan membangun struktur dengan kurikulum yang akan diorganisir.
Pada komponen VI dan VII melukiskan perincian lebih lanjut dalam pelaksanaan lewat pengajaran yang mencakup tujuan instruksional umum dan khusus.Komponen VIII menunjukkuan strategi agar tujuan tercapai dikelas.Sekaligus dalam fase ini pembina kurikulum secara pendahuluan mencari teknik evaluasi(komponen IX) yang dilanjutkan dengan komponen X dimana pembelajaran dilaksanakan.
KomponenXI adalah evaluasi sesungguhnya mengenai prestasi siswa, keefektifan pengajaran.
Komponen XII merupakan evaluasi kurikulum atau keseluruhan program.hal terpenting adalah umpan balik dari setiap evaluasi untuk pengembangan lebih lanjut.Jadi inti dari semua komponen adalah komponen I sampai IV dan VI sampai IX adalah tahap perencanaan, sementara X-XII adalah tahap operasional. Komponen V merupakan perpaduan antara perencanaan dan operasional.
Model Oliva dapat dipandang terdiri dari dua submodel:komponen I-V dan XII sebagai submodel pengembangan kurikulum.Komponen VI-XI sebagai model pengembangan pengajaran.
Secara terperinci model tersebut mengikuti langkah-langkah berikut:

1. Spesifikasi kebutuhan siswa umumnya

2. Spesifikasi kebutuhan masyarakat

3. Pernyataan filsafat dan tujuan pendidikan

4. Spesifikasi kebutuahn siswa tertentu

5. Spesifikasi kebutuhan masyarakat lingkungan sekolah

6. Spesifikasi kebutuhan mata pelajaran

7. Spesifikasi tujuan kurikulum sekolah

8. Spesifikasi tujuan kurikulum sekolah lebih lanjut(lebih khusus)

9. Organisasi dan implementasi kurikulum

10. Spesifikasi tujuan instruksional umum

11. Spesifikasi lebih lanjut dan khusus tujuan instruksional

12. Seleksi strategi instruksional

13. Seleksi awal strategi evaluasi

14. Implementasi pengajaran/instruksional

15. Seleksi akhir strategi evaluasi

16. Evaluasi pengajaran dan modifikasi komponen-komponennya

17. Evaluasi kurikulum dan modifikasi komponen-komponen kurikulum
Dari berbagai model diatas nampak ada persamaan dan perbedaan. Taba dan Tyler melukiskan langkah-langkah, Alexander dan Saylor melukiskan proses, sedangkan Oliva melukiskan komponen-komponen pengembangan kurikulum.Tidak ada model yang sempurna demikian juga dikatakan suatu model lebih baik dari yang lain.
D.Fungsi Model Kurikulum Bagi Guru
Wina Sanjaya mengutip pendapat Nadler yang menjelaskan bahwa model yang baik adalah model yang dapat menolong sipengguna untuk mengerti dan memahami suatu proses secara mendasar dan menyeluruh.(2008: 82). Hal ini berarti model pengembangan kurikulum yang baik adalah model yang dapat membantu para pengembang kurikulum dalam mengembangkan kurikulum di lapangan.
Berkenaan dengan model-model pengembangan kurikulum diatas, maka fungsi model pengembangan kuirkulum bagi guru adalah:
1.Sebagai pedoman bagi guru untuk memilih model pengembangan yang sesuai dengan pelaksanaan pengembangan kurikulum di lapangan.
2. Sebagai bahan pengetahuan untuk melihat lahirnya bagaimana sebuah kurikulum tercipta dari mulai perencanaan sampai pelaksanaan di lapangan, yang mungkin selama ini guru hanya mengetahui bahwa kurikulum itu sebagai sesuatu yang siap saji., padahal melalui proses yang panjang sesuai dengan model mana yang di;pilih oleh pengembang kurikulum atau penganbil kebijaksanaan.
3.Sebagai bahan untuk menyusun kurikulum yang sesuai dengan visi, misi, karakteristik, dan sesuai dengan pengalaman belajar yang diharapkan atau dibutuhkan oleh siswa.
4. Sebagai bahan untuk mengadakan penelitian yang merupakani bagian tugas profesional guru yang memiliki tanggung jawab dalam meningkatkan kinerjanya sebagai guru.
5. Sebagai bahan untuk melihat perbandingan dan keberhasilan tentang model pengembangaan kurikulum yang digunakan suatu sekolah, yang nantinya diharapkan untuk memperbaiki kurikulum yang dilaksanakan.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keberadaan model-model pengembangan kurikulum memegang peranan penting dan sangat urgen untuk difahami oleh barbagai pihak yang terlibat dalam kegiatan pengembangan kurikulum.
Banyak para ahli yang mengemukakan tentang model-model pengembangan kurikulum, namun dari berbagai model tersebut mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing, dan masing-masing model arah titik berat pengembangannya sangat berbeda, ada yang menitikberatkan pada pengambil kebijaksanaan, pada perumusan tujuan, perumusan isi pelajaran, pelaksanaan kurikulum itu sendiri dan evaluasi kuirkulum.
`Pemilihan suatu model pengembangan kuirkulum bukan saja didasrkan pada asas kelebihan dan kebaikan-kebaikannya serta kemungkinan pencapaian hasil yang optimal., tetapi juga perlu disesuaikan dengan sistem pendidikan dan sistem pengelolaan pendidikan yang dianut serta model konsep pendidikan mana yang digunakan. Model pengembangan dalam sistem pendidikan dan pengelolaan yang sifatnya sentralisasi berbeda dengan desentralisasi. Model penegembangan kurikulum yang sifatnya subjek akademis berbeda dengan kuirkulum humanistik, teknologis dan rekonstruksi sosial,
B. Saran.
1. Sebagai tenaga profesional guru dituntut untuk memiliki sejumlah pengetahuan yang berhubungan dengan kurikulumkarena kuirkulum merupakan nadi penggerak dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dan pengajar.Hal ini dapat dilakukan memalui pelatihan, penelituian atau memperkaya diri dengan melalui bahan bacaan, internet dan sebagainya.
2. Diharapkan dengan berlakunya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, guru dapat memilih model pengembangan kuiurkulum yang tepat dan diharapkan dengan pilihan tersebut dapat diimplementasikan dalam pengembangan kurikulum di sekolah.
3. Dengan telah diketahui dan dipahaminya tentang model-model pengembangan kurikulum diharapkan dalam pelaksanaan perancangan KTSP yang berlaku disatuan pendidikan tertentu, benar-benar merupakan hasil karya antara stekholder-stekholder yang berada di suatu sekolah, bukan merupakan copy paste dari KPTS sekolah lain.
DAFTAR PUSTAKA
Hamalik,Oemar (2000). Model-model Pengembangan Kurikulum. Bandung: Yayasan Almadani Terpadu.
Hamalik, Oemar. (2008). Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung; PT Remaja Rosdakarya.
Oliva, P.F.(1991). Developing the Curriculum. Third Edition,United States: Harper Collins Publisher
Sukmadinata,N.S.(2008) Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek: Bandung; PT. Remaja Rosdakarya
Suherman, Ase, dkk. (2006). Kurikulum dan Pembelajaran. TIM Pengembang Kurikulum dan Pembelajaran, Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan. Fakultas Ilmu Pendidikan-Universitas Pendidikan Indonesia.
Sanjaya, Wina (2008). Kurikulum dan Pembelajaran, Teori dan Praktik Pengembangan Kuirkulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta; Fajar Interpratama Offset.
Sanjaya, Wina. (2007). Kajian Kurikulum dan Pembelajaran. Sekolah Paqscasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
Tyler W. Ralph (1949). Basic Principles Of Curriculum Ande Instruction. London; The University Of Chicago Press.
*।Mahasiswa S2 Pengembangan Kurikulum, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

http://chandrawati.wordpress.com/2009/04/20/model-model-pengembangan-kurikulum-dan-fungsinya-bagi-guru/

Model Pengembangan Kurikulum (Pengembangan Kurikulum)



BAB I
PENDAHULUAN

Kurikulum secara umum didefinisikan sebagai rencana (plan) yang dikembangkan untuk memperlancar proses belajar dan mengajara dengan arahan dan bimbingan sekolah serta anggota stafnya.

Pengambangan kurikulum merupakan bagian yang esensial dalam proses pendidikan. Sasaran yang ingin dicapai bukan semata-mata memperoduksi bahan pelajaran melainkan lebih ditikberatkan untuk meningkatkan kualiats pendidikan.

Kegiatan pengembangan kurikulum sekolah memerlukan model yang dijadikan lambing teroritis untuk melaksanakan suatu kegiatan. Model atau konstruksi merupakan ulasan teroritis tentang suatu konsepsi dasar. Dalam makalah ini akan dikemukakan beberapa model pengembangan kurikulum, yang hendaknya bias diperguanakn untuk mengembangkan kurikulum menuju proses belajar mengajara untuk mencapai dan meningkatkan kualitas pendidikan.


BAB II
PEMBAHASAN

Kegiatan pengembangan kurikulum sekolah memerlukan model yang dijadikan lambing teroritis untuk melaksanakan suatu kegiatan. Model atau konstruksi merupakan ulasan teroritis tentang suatu konsepsi dasar. Dalam kegiatan pengambangan kurikulum, model merupakan ulasan teoritis tentang proses pengembangan kurikulum secara menyeluruh atau dapat pula hany mencakup salah satu komponen kurikulum. Ada suatu model yang memberikan ulasan tentang suatu proses kurikulum, tetapi ada pula yang hanya menekankan pada mekanisme pengembangannya saja, dan itu pun hanya pada uraian pengembangan organisasinya.

Ada banyak model pengembangan kurikulum yang tekah dipikirkan dan dikemukakan banyak orang. Berikut akan dibicarakan beberapa diantaranya, yaitu model yang dikemukakan oleh Rogers dan Zais.

A. Model Pengembangan Kurikulum Rogers

Ada beberapa model yang dikemukakan Rogers, yaitu jumlah dari model yang paling sederhana sampai dengan yang komplit. Model-model tersebut disusun sedemikian rupa sehingga model yang berikutnya sebenarnya merupakan penyempurnaan dari yang sebelumnya. Adapun model-model tersebut sebagai berikut :

Model I (paling sederhana) menggambarkan bahwa kegiatan pendidikan semata-mata terdiri dari kegiatan memberikan informasi dan ujian. Hal ini didasari atas asumsi bahwa pendidikan adalah evaluasi dan evaluasi adalah pendidikan, serta pengetahuan adalah akumulasi materi dan informasi.(1)

Model yang sederhana ini menggambarkan dua pertanyaan pokok yang menjadi inti model yaitu :
1. Mengapa saya mengajarkan mata pelajaran ini ?
2. Bagaimana saya dapat mengetahui keberhasilan pelajaran yang saya ajarkan ?

Dalam menjawab pertanyaan tersebut tentu guru harus mempertimbangkan ketepatan dan kerelevansian bahan pelajaran yag diajarkan dengan kebutuhan siswa dan masyarakat.

Model II adalah penyempurnaan dari model I dengan menambahkan pokok yang belum tercover pada model I yaitu mengenai metode dan organisasi bahan pelajaran. Pertanyaan yang menjadi gambaran pokok model ini adalah :
1. Mengapa saya mengajarkan bahan pelajaran ini dengan metode ini ?
2. Bagaimana saya harus mengorganisasikan bahan pelajaran ini ?(2)

Model III pengembangan kurikulum merupakan penyempurnaan dari model II yang belum bias memberikan alternative pokok atas unsure teknologi pendidikan kedalamnya. Hal itu didasarkan pertimbangan bahwa teknologi pendidikan merupakan factor yang sangat menunjang dalam keberhasilan belajar mengajar.(3)

Pertanyaan pokok yang tercover dari model III adalah :
1. Buku-buku pelajaran apakah yang harus dipergunakan dalam mata pelajaran ?
2. Alat atau media apakah yang dapat dipergunakan dalam pelajaran tertentu?

Namun, nampaknya perkembangan model kurikulum ini juga belum mencerminkan tujuan dari model pengembangan kurikulum dalam proses belajar menajar. Oleh karena itu, disempurnakan lagi oleh model IV dengan memeasukkan unsure tujuan didalamnya. Tujuan itulah yang bersifat mengikat semua komponen yang lain, baik metode, organisasi bahan, teknologi pengajaran, isi pelajaran maupun kegiatan penilaian.(4)

B. Model Pengembangan Kurikulum Zais

Robert S. Zais mengemukakan delapan macam model pengambangan kurikulum. Model tersebut sebgian merupakan model yang sering ditempuh dalam kegiatan pengembangan kurikulum sekolah. Adapun beberapa model tersbut antara lain :

1. Model Administratif
Model ini merupakan model pengembangan kurikulum yang paling lama dan paling banyak digunakan. Gagasan pengembangan kurikulum datang dari para administrator pendidikan dan menggunakan prosedur administrasi. Model administrative / disebut juga model garis staf atau model dari atas ke bawah. Kegiatan pengembangan kurikulum dimulai dari pejabat pendidikan yang berwenang yang membentuk panitia pengarah. Biasanya terdiri dari pengawas pendidikan, kepala sekolah, dan staf pengajar inti. Panitia pengarah tersebut diarahkan tugas untuk merencanakan, menyiapkan rumusan falsafah dan tujuan umum pendidikan.

Setelah kegiatan tersebut selesai, Panitia pengarah membentuk kelompok kerja sesuai keperluan. Para anggotanya biasanya adalah staf pengajaran dan spesialis kurikulum. Kelompok ini bertugas untuk menyusun tujuan-tujuan khusus pendidikan, garis besar bahan pengajaran, dan kegiatan belajar. Hasil kerja kelompok tersebut direvisi Panitia Pengarah, menguji coba kemudian memutuskan pelaksanaannya. Setelah mendapatkan beberapa penyempurnaan dan dinilai telah cukup baik, administrator pemberi tugas menetapkan berlakunya kurikulum tersebut. Karena datangnya dari atas, maka model ini disebut juga model Top – Down. Dalam pelaksanaannya, diperlukan monitoring, pengawasan dan bimbingan. Setelah berjalan beberapa saat perlu dilakukan evaluasi.(5)

2. Model Gree / Grass Root
Model pengembangan ini merupakan lawan dari model pertama. Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah. Model pengembangan kurikulum yang pertama, digunakan dalam sistem pengelolaan pendidikan/kurikulum yang bersifat sentralisasi, sedangkan model grass roots akan berkembang dalam sistem pendidikan yang bersifat desentralisasi.(6)

Pengembangan kurikulum model dari bawah ini menuntut adanya kerja antarguru, antar sekolah secara baik, disamping harus juga ada kerjasama antar pihak diluar sekolah khususnya orangtua murid dan masyarakat.

Terkait dengan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, tampaknya lebih cenderung dilakukan dengan menggunakan pendekatan the grass-root model. Kendati demikian, agar pengembangan kurikulum dapat berjalan efektif tentunya harus ditopang oleh kesiapan sumber daya, terutama sumber daya manusia yang tersedia di sekolah.

3. Model Beuchamp
Sesuai dengan namanya, model ini diformulasikan oleh GA. Beucamp, yaitu mengemukakan lima langkah penting dalam pengambilan keputusan pengambangan kurikulum, yaitu :
a. Menentukan arena pengambangan kurikulum yang dilakukan, yaitu berupa kelas, sekolah, system persekolahan regional atau nasional.
b. Memilih da kemudian mengikutsertakan pengembang kurikulum yang terdiri atas spesialis kurikulum, kelompok professional, penyuluh pendidikan dan orang awam.
c. Mengorganisasikan dan menentukan perencanaan kurikulum yang meliputi penentuan tujuan, materi dan kegiatan belajar.
d. Merapatkan atau melaksanakan kurikulum secara sistematis di sekolah.
e. Melakukan penilaian.(7)

4. Model Terbalik Hilda Taba
Model yang dikemukakan Hilda ini berbeda dengan cara lazim yang bersifat deduktif karena caranya bersifat induktif. Itulah sebabnya ini dinamakan model terbalik.Model ini diawali justru dengan percobaan, kemudian baru penyusunan dan kemudian penerapan. Hal ini dimaksudkan untuk meneukan antara teori dan praktek.

Pengembangan model ini dilakukan dengan lima tahap, yaitu :
a. Menyusun unit-unit kurikulum yang ada dan diujicobakan oleh staf pengajar.
b. Mengujicobakan untuk mengetahui kesahihan dan kelayakan kegiatan belajar mengajar.
c. Menganalisis dan merevisi hasil ujicoba, serta mengkonsolidasikannya.
d. Menyususn kerangka teroritis.
e. Menyususn kurikulum yang dikembangkan secara menyeluruh dan mengumumkannya.(8)


BAB III
PENUTUP

Ada banyak model pengembangan kurikulum yang tekah dipikirkan dan dikemukakan banyak orang. Berikut akan dibicarakan beberapa diantaranya, yaitu model yang dikemukakan oleh Rogers dan Zais.

Model pengembangan Rogers meliputi :
- Model I : meorientasikan padakegiatan pemberian informasi dan evaluasi.
- Model II (penyempurnaan) dengan menambahkan metode dan organisasi bahan pelajarab.
- Model III (penyempurnaan) dengan menambahkan pokok unsure teknologi dalam pembelajaran.
- Model IV (penyempurnaan) dengan mencakupkan konsep tujuan dalam pengembangan kurikulum.

Model pengembangan Zais meliputi :
- Model Administratif (Atas ke Bawah)
- Model Grass Root (Bawah Ke Atas)
- Model Beuchamp
- Model Terbalik Hilda Taba


FOOT NOTE

1. Drs. H. M. Ahmad, dkk. PENGEMBANGAN KURIKULUM. 1997. Bandung : Penerbit Pustaka Setia. Hal. 50.
2. Ibid, Hal. 51.
3. Ibid, Hal. 52.
4. Ibid Hal. 53.
5. Nana Syaodih Sukmadinata. Pengembangan Kurikum ; Teori dan Praktek. 1997. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.
6. Tim Pengembang MKDK Kurikulum dan Pembelajaran.2002. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung : Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan UPI.
7. Drs. H. Ahmad, dkk. Op Cit. Hal. 56.
8. Ibid, Hal. 57


DAFTAR PUSTAKA

Drs. H. M. Ahmad, dkk. PENGEMBANGAN KURIKULUM. 1997. Bandung : Penerbit Pustaka Setia.
Nana Syaodih Sukmadinata. Pengembangan Kurikum ; Teori dan Praktek. 1997. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.
Tim Pengembang MKDK Kurikulum dan Pembelajaran।2002. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung : Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan UPI.
http://www.hardja-sapoetra.co.cc/2010/03/model-pengembangan-kurikulum.html

Model - model Pengembangan Kurikulum




Banyak model yang digunakan dalam pengembangan kurikulum. Pemilihan suatu model pengembangan kurikulum bukan saja didasarkan pada kelebihan dan kemungkinan pencapaian hasil yang optimal, tetapi juga perlu disesuaikan dengan sistem pendidikan dan sistem pengelolaan pendidikan yang dianut. Model pengembangan kurikulum dalam sistem pendidikan dan sistem pengelolaan pendidikan yang sentralistik tentunya akan berbeda dengan sistem pendidikan dan sistem pengelolaan pendidikan yang desentralistik. Di bawah ini diuraikan tentang pendekatan-pendekatan dan model-model pengembangan kurikulum.
A. Pendekatan Pengembangan Kurikulum
1. The administrative (line staf) model; merupakan model pengembangan kurikulum yang paling lama dan paling banyak digunakan. Gagasan pengembangan kurikulum datang dari para administrator pendidikan dan menggunakan prosedur administrasi. Dengan wewenang administrasinya, membentuk suatu Komisi atau Tim Pengarah pengembangan kurikulum. Anggotanya, terdiri dari pejabat di bawahnya, para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu, dan para tokoh dari dunia kerja dan perusahaan. Tugas tim ini adalah merumuskan konsep-konsep dasar, landasan-landasan, kebijaksanaan dan strategi utama dalam pengembangan kurikulum. Selanjutnya administrator membentuk Tim Kerja terdiri dari para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu dari perguruan tinggi, dan guru-guru senior, yang bertugas menyusun kurikulum yang sesungguhnya yang lebih operasional menjabarkan konsep-konsep dan kebijakan dasar yang telah digariskan oleh Tim pengarah, seperti merumuskan tujuan-tujuan yang lebih operasional, memilih sekuens materi, memilih strategi pembelajaran dan evaluasi, serta menyusun pedoman-pedoman pelaksanaan kurikulum bagi guru-guru. Setelah Tim Kerja selesai melaksanakan tugasnya, hasilnya dikaji ulang oleh Tim Pengarah serta para ahli lain yang berwenang atau pejabat yang kompeten.
Setelah mendapatkan beberapa penyempurnaan dan dinilai telah cukup baik, administrator pemberi tugas menetapkan berlakunya kurikulum tersebut. Karena datangnya dari atas, maka model ini disebut juga model Top – Down. Dalam pelaksanaannya, diperlukan monitoring, pengawasan dan bimbingan. Setelah berjalan beberapa saat perlu dilakukan evaluasi.
2. The grass root model; model pengembangan ini merupakan lawan dari model pertama. Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah. Model pengembangan kurikulum yang pertama, digunakan dalam sistem pengelolaan pendidikan/kurikulum yang bersifat sentralisasi, sedangkan model grass roots akan berkembang dalam sistem pendidikan yang bersifat desentralisasi. Dalam model pengembangan yang bersifat grass roots seorang guru, sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah mengadakan upaya pengembangan kurikulum. Pengembangan atau penyempurnaan ini dapat berkenaan dengan suatu komponen kurikulum, satu atau beberapa bidang studi ataupun seluruh bidang studi dan seluruh komponen kurikulum. Apabila kondisinya telah memungkinkan, baik dilihat dari kemampuan guru-guru, fasilitas biaya maupun bahan-bahan kepustakaan, pengembangan kurikulum model grass roots, akan lebih baik.
Hal itu didasarkan atas pertimbangan bahwa guru adalah perencana, pelaksana, dan juga penyempurna dari pengajaran di kelasnya. Dialah yang paling tahu kebutuhan kelasnya, oleh karena itu dialah yang paling kompeten menyusun kurikulum bagi kelasnya.
Pengembangan kurikulum yang bersifat grass roots, mungkin hanya berlaku untuk bidang studi tertentu atau sekolah tertentu, tetapi mungkin pula dapat digunakan untuk seluruh bidang studi pada sekolah atau daerah lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralistik dengan model grass rootsnya, memungkinkan terjadinya kompetisi dalam meningkatkan mutu dan sistem pendidikan, yang pada gilirannya akan melahirkan manusia-manusia yang lebih mandiri dan kreatif.
B. Model Pengembangan Kurikulum
1. Beauchamp’s system
Beauchamp mengemukakan lima langkah di dalam pengembangan suatu kurikulum, yaitu :
a. Menetapkan arena atau lingkup wilayah yang akan dicakup kurikulum, apakah suatu sekolah, kecamatan, kabupaten propinsi atau bahkan seluruh negara. Penetapan wilayah ditentukan oleh pihak yang memiliki wewenang pengambil kebijaksanaan dalam pengembangan kurikulum, serta oleh tujuan pengembangan kurikulum.
b. Menetapkan personalia yang akan turut serta terlibat dalam pengembangan kurikulum. Ada empat kategori orang yang dapat dilibatkan yaitu : (a) para ahli pendidikan/kurikulum yang ada pada pusat pengembangan kuruikulum/pendidikan dan para ahli bidang ilmu dari luar; (b) para ahli pendidikan dari perguruan tinggi atau sekolah dan guru-guru terpilih; (c) para profesional dalam sistem pendidikan; dan (d) profesional lain dan tokoh masyarakat.
c. Organisasi dan prosedur pengembangan yaitu berkenaan dengan prosedur yang harus ditempuh dalam merumuskan tujuan umum dan tujuan yang lebih khusus, memilih isi dan pengalaman belajar, serta kegiatan evaluasi dan dalam menentukan desain kurikulum. Beauchamp membagi keseluruhan kegiatan ini dalam lima langkah, yaitu : (a) membentuk tim pengembang kurikulum; (b) mengadakan evaluasi atau penelitian terhadap kurikulum yang berlaku; (c) studi penjajagan kemungkinan penyusunan kurikulum baru; (d) merumuskan kriteria-kriteria bagi penentuan kurikulum baru; dan (e) penyusunan dan penulisan kurikulum baru.
d. Implementasi kurikulum merupakan langkah mengimplementasikan atau melaksanakan kurikulum yang sesungguhnya bukanlah hal sederhana, sebab membutuhkan kesiapan menyeluruh, baik guru, peserta didik, fasilitas, bahan maupun biaya, disamping kesiapan manajerial dan pimpinan sekolah atau administrator setempat.
e. Evaluasi kurikulum, pada langkah ini minimal mencakup empat hal yaitu: (a) evaluasi tentang pelaksanaan kurikulum oleh guru; (b) evaluasi desain; (c) evaluasi hasil belajar peserta didik; dan evaluasi dari keseluruhan sistem kurikulum. Data yang diperoleh digunakan untuk kepentingan perbaikan dan penyempurnaan kurikulum.
2. The Demonstration Model
Model ini pada dasarnya bersifat grass root diprakarsai oleh guru atau sekelompok guru bekerja sama dengan ahli yang bermaksud mengadakan perbaikan kurikulum, suatu komponen atau seluruh komponen. Model ini umumya berskala kecil hanya mencakup satu sekolah atau beberapa sekolah. Karena sifatnya yang ingin merubah, pengembangan kurikulum seringkali mendapat tantangan dari pihak tertentu.
Terdapat dua variasi model demonstrasi, yaitu ; (1) berbentuk proyek dan (2) berbentuk informal, terutama diprakarsai oleh sekelompok guru yang merasa kurang puas dengan kurikulum yang ada.
Beberapa keunggulan dari pengembangan kurikulum model demonstrasi ini, yaitu : (1) memungkinkan untuk menghasilkan suatu kurikulum atas aspek tertentu dari kurikulum yang lebih praktis, karena kurikulum disusun dan dilaksanakan berdasarkan situasi nyata; (2) jika dilakukan dalam skala kecil, resistensi dari administrator kemungkinan relatif kecil, dibandingkan dengan perubahan yang berskala besar dan menyeluruh; (3) dapat menembus hambatan yang sering dialami yaitu dokumen kurikulumnya bagus, tetapi pelaksanaannya tidak ada; (4) menempatkan guru sebagai pengambil insiatif yang dapat menjadi pendorong bagi para administrator untuk mengembangkan program baru. Sedangkan kelemahan model ini adalah bagi guru-guru yang tidak turut berpartisipasi mereka akan enggan-enggan. Dalam keadaan terburuk mungkin akan terjadi apatisme.
3. Taba’s Inverted Model
Ada lima langkah pengembangan kurikulum model Taba, yaitu :
a. Menghasilkan unit-unit percobaan (pilot unit) melalui langkah-langkah: (1) mendiagnosis kebutuhan; (2) merumuskan tujuan-tujuan khusus; (3) memilih isi; (4) mengorganisasi isi; (4) memilih pengalaman belajar; (5) mengorganisasi pengalaman belajar; (5) mengevaluasi; dan (6) melihat sekuens dan keseimbangan
b. Menguji coba unit eksperimen untuk memperoleh data dalam rangka menemukan validitas dan kelayakan penggunaannya.
c. Mengadakan revisi dan konsolidasi unit-unit eksperimen berdasarkan data yang diperoleh dalam uji coba.
d. Mengembangkan seluruh kerangka kurikulum
e. Implementasi dan diseminasi kurikulum yang telah teruji. Pada tahap terakhir ini perlu dipersiapkan guru-guru melalui penataran-penataran, loka karya dan sebagainya serta mempersiapkan fasilitas dan alat sesuai tuntutan kurikulum.
4. Roger’s Interpersonal Relations Model
Ada empat langkah pengembangan kurikulum model Rogers, yaitu:
a. Pemilihan target dari sistem pendidikan; di dalam penentuan target ini satu-satunya kriteria yang menjadi pegangan adalah adanya kesediaan dari pejabat pendidikan/administrator untuk turut serta dalam kegiatan kelompok secara intensif. Selama satu minggu pejabat pendidikan/administrator melakukan kegiatan kelompok dalam suasana relaks, tidak formal. Rogers berpendapat bahwa melalui kegiatan ini mereka akan mengalami perubahan-perubahan sebagai berikut :
(1) He is less protective of his own beliefs and can listen more accurately.
(2) He finds it easier and less threatening to accept inovative ideas.
(3) He has less need to protect bureaucatic rules.
(4) He communicates more clearly and realistically to superiors, peers, and sub-ordinates, because he is more open and self-protective.
(5) He is more person oriented and democratic.
(6) He openly confronts personal emotional frictions between himself and colleagues.
(7) He is more able to accept boyh positive and negative feedback and use it contructively.
b. Partisipasi guru dalam pengalaman kelompok yang intensif. Keikutsertaan guru dalam kegiatan sebaiknya secara sukarela. Lama kegiatan satu minggu atau kurang. Menurut Rogers bahwa efek yang diterima sejalan dengan para administrator seperti telah dikemukakan di atas, dengan beberapa tambahan, yakni
(1) He is more able to listen to student
(2) He accepts innovative, trouble some ideas from student, rather than insisting on conformity.
(3) He pays as much atention to his relationship with student as he does to course content.
(4) He works out problems with student rather than responding in disciplinary and punitive manner.
(5) He developes an equalitarian and democratic classroom climate

c. Pengembangan pengalaman kelompok yang intensif untuk satu kelas atau unit pelajaran. Selama lima hari penuh peserta didik ikut serta dalam kegiatan kelompok, dengan fasilitator guru atau administrator atau fasilitator dari luar. Menurut Rogers bahwa dari kegiatan ini peserta didik akan mendapatkan :
(1) He feels freer to express both positive and negative feeling in class
(2) He works throgh these feelings toward a realistic solution.
(3) He has more energy for learning because he has less fear of constant evaluation and punishment.
(4) He discovers that he is responsible for his own learning.
(5) He awe and fear of authority dimnish as he finds teachers and administrators to be fallible human beings.
(6) He finds that the learning process enables him to deal withhis life
d. Partisipasi orang tua dalam kegiatan kelompok. Kegiatan ini dapat dikoordinasi oleh Komite Sekolah masing-masing sekolah. Lama kegiatan kelompok tiga jam tiap sore hari selama seminggu atau 24 jam secara terus menerus. Kegiatan ini bertujuan memperkaya orang-orang dalam hubungannya dengan sesama orang tua, dengan anak, dan dengan guru. Kegiatan ini merupakan kulminasi dari kegiatan kelompok di atas. Metode pendidikan yang dikembangkan Rogers adalah sensitivity trainning, encounter group, dan Trainning Group (T Group).
5. The Systematic Action Research Model
Ada dua langkah utama dalam model penelitian tindakan secara sistematis ini, yaitu :
a. Mengadakan kajian secara seksama tentang masalah-masalah kurikulum, berupa pengumpulan data yang bersifat menyeluruh, dan mengidentifikasi faktor-faktor kekuatan dan kondisi yang mempengaruhi masalah tersebut. Dari hasil kajian tersebut dapat disusun rencara yang menyeluruh tentang cara-cara mengatasi masalah tersebut, serta tindakan pertama yang harus diambil.
b. Implementasi dari keputusan yang diambil dalam tindakan pertama. Tindakan ini segera diikuti oleh kegiatan pengumpulan data dan fakta-fakta. Kegiatan pengumpulan data ini mempunyai beberapa fungsi : (a) menyiapkan data bagi evaluasi tindakan; (b) sebagai bahan pemahaman tentang masalah yang dihadapi; (c) sebagai bahan untuk menilai kembali dan mengadakan modifikasi; (d) sebagai bahan untuk menentukan tindakan lebih lanjut.
6. Emerging Technical Model
Model ini dipengaruhi oleh perkembangan dalam bidang teknologi dan efektivitas dan efisiensi dalam dunia bisnis, sehingga muncul model – model seperti :
a. The Behavioral Analysis Model, yang menekankan penguasaan perilaku atau kemampuan. Suatu perilaku yang kompleks diuraikan menjadi perilaku-perilaku sederhana yang tersusun secara hierarkis. Peserta didik mempelajari perilaku-perilaku tersebut secara berangsur-angsur menuju yang lebih kompleks.
b. The System Analysis Model, berasal dari gerakan efisiensi bisinis. Langkah – langkah yang ditempuh dalam model ini adalah : (1) menentukan spesifikasi perangkat hasil belajar yang harus dikuasai peserta didik; (2) menyusun instrumen untuk menilai ketercapaian hasil-hasil belajar tersebut; (3) mengidentifikasi tahap-tahap ketercapaian hasil serta perkiraan biaya yang diperlukan; dan (4) membandingkan biaya dan keuntungan dari beberapa program pendidikan
c। The Computer-Based Model, yaitu suatu model pengembangan kurikulum dengan memanfaatkan komputer. Pengembangan dimulai dengan mengidentifikasi seluruh unit-unit kurikulum, tiap unit kurikulum telah memiliki rumusan tentang hasil-hasil yang diharapkan. Kepada para peserta didik dan guru-guru diminta untuk melengkapi pertanyaan tentang unit-unit kurikulum tersebut. Setelah diadakan pengolahan disesuaikan dengan kemampuan dan hasil-hasil belajar yang dicapai peserta didik, selanjutnya disimpan dalam komputer.
http://iimranin.blogspot.com/2008/01/model-model-pengembangan-kurikulum.html

Pendidikan Holistik


Oleh : Akhmad Sudrajat

Pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual. Secara historis, pendidikan holistik sebetulnya bukan hal yang baru.

Pendidikan Holistik

Beberapa tokoh klasik perintis pendidikan holistik, diantaranya : Jean Rousseau, Ralph Waldo Emerson, Henry Thoreau, Bronson Alcott, Johann Pestalozzi, Friedrich Froebel dan Francisco Ferrer. Berikutnya, kita mencatat beberapa tokoh lainnya yang dianggap sebagai pendukung pendidikan holistik, adalah : Rudolf Steiner, Maria Montessori, Francis Parker, John Dewey, John Caldwell Holt, George Dennison Kieran Egan, Howard Gardner, Jiddu Krishnamurti, Carl Jung, Abraham Maslow, Carl Rogers, Paul Goodman, Ivan Illich, dan Paulo Freire.

Pemikiran dan gagasan inti dari para perintis pendidikan holistik sempat tenggelam sampai dengan terjadinya loncatan paradigma kultural pada tahun 1960-an. Memasuki tahun 1970-an mulai ada gerakan untuk menggali kembali gagasan dari kalangan penganut aliran holistik. Kemajuan yang signifikan terjadi ketika dilaksanakan konferensi pertama pendidikan Holistik Nasional yang diselenggarakan oleh Universitas California pada bulan Juli 1979, dengan menghadirkan The Mandala Society dan The National Center for the Exploration of Human Potential. Enam tahun kemudian, para penganut pendidikan holistik mulai memperkenalkan tentang dasar pendidikan holistik dengan sebutan 3 R’s, akronim dari relationship, responsibility dan reverence. Berbeda dengan pendidikan pada umumnya, dasar pendidikan 3 R’s ini lebih diartikan sebagai writing, reading dan arithmetic atau di Indonesia dikenal dengan sebutan calistung (membaca, menulis dan berhitung).

Tujuan pendidikan holistik adalah membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demoktaris dan humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri (learning to be). Dalam arti dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan emosionalnya (Basil Bernstein).

Jika merujuk pada pemikiran Abraham Maslow, maka pendidikan harus dapat mengantarkan peserta didik untuk memperoleh aktualisasi diri (self-actualization) yang ditandai dengan adanya: (1) kesadaran; (2) kejujuran; (3) kebebasan atau kemandirian; dan (4) kepercayaan.

Pendidikan holistik memperhatikan kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spritual. Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif, oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan bagaimana orang belajar. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan strategi pembelajaran holistik, diantaranya: (1) menggunakan pendekatan pembelajaran transformatif; (2) prosedur pembelajaran yang fleksibel; (3) pemecahan masalah melalui lintas disiplin ilmu, (4) pembelajaran yang bermakna, dan (5) pembelajaran melibatkan komunitas di mana individu berada.

Dalam pendidikan holistik, peran dan otoritas guru untuk memimpin dan mengontrol kegiatan pembelajaran hanya sedikit dan guru lebih banyak berperan sebagai sahabat, mentor, dan fasilitator. Forbes (1996) mengibaratkan peran guru seperti seorang teman dalam perjalanan yang telah berpengalaman dan menyenangkan.

Sekolah hendaknya menjadi tempat peserta didik dan guru bekerja guna mencapai tujuan yang saling menguntungkan. Komunikasi yang terbuka dan jujur sangat penting, perbedaan individu dihargai dan kerjasama lebih utama dari pada kompetisi.

Gagasan pendidikan holistik telah mendorong terbentuknya model-model pendidikan alternatif, yang mungkin dalam penyelenggaraannya sangat jauh berbeda dengan pendidikan pada umumnya, salah satunya adalah homeschooling, yang saat ini sedang berkembang, termasuk di Indonesia।

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/26/pendidikan-holistik/

IQ, EQ dan SQ: Dari Kecerdasan Tunggal ke Kecerdasan Majemuk



Kecerdasan merupakan salah satu anugerah besar dari Allah SWT kepada manusia dan menjadikannya sebagai salah satu kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan kecerdasannya, manusia dapat terus menerus mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yang semakin kompleks, melalui proses berfikir dan belajar secara terus menerus.
IQ, EQ dan SQ; dari Kecerdasan Tunggal ke Kecerdasan Majemuk

Dalam pandangan psikologi, sesungguhnya hewan pun diberikan kecerdasan namun dalam kapasitas yang sangat terbatas. Oleh karena itu untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya lebih banyak dilakukan secara instingtif (naluriah). Berdasarkan temuan dalam bidang antropologi, kita mengetahui bahwa jutaan tahun yang lalu di muka bumi ini pernah hidup makhluk yang dinamakan Dinosaurus yaitu sejenis hewan yang secara fisik jauh lebih besar dan kuat dibandingkan dengan manusia. Namun saat ini mereka telah punah dan kita hanya dapat mengenali mereka dari fosil-fosilnya yang disimpan di musium-musium tertentu. Boleh jadi, secara langsung maupun tidak langsung, kepunahan mereka salah satunya disebabkan oleh faktor keterbatasan kecerdasan yang dimilikinya. Dalam hal ini, sudah sepantasnya manusia bersyukur, meski secara fisik tidak begitu besar dan kuat, namun berkat kecerdasan yang dimilikinya hingga saat ini manusia ternyata masih dapat mempertahankan kelangsungan dan peradaban hidupnya.

Lantas, apa sesungguhnya kecerdasan itu ? Sebenarnya hingga saat ini para ahli pun tampaknya masih mengalami kesulitan untuk mencari rumusan yang komprehensif tentang kecerdasan. Dalam hal ini, C.P. Chaplin (1975) memberikan pengertian kecerdasan sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. Sementara itu, Anita E. Woolfolk (1975) mengemukan bahwa menurut teori lama, kecerdasan meliputi tiga pengertian, yaitu : (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan (3) kemampuan untuk beradaptasi dengan dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya.

Memang, semula kajian tentang kecerdasan hanya sebatas kemampuan individu yang bertautan dengan aspek kognitif atau biasa disebut Kecerdasan Intelektual yang bersifat tunggal, sebagaimana yang dikembangkan oleh Charles Spearman (1904) dengan teori “Two Factor”-nya, atau Thurstone (1938) dengan teori “Primary Mental Abilities”-nya. Dari kajian ini, menghasilkan pengelompokkan kecerdasan manusia yang dinyatakan dalam bentuk Inteligent Quotient (IQ), yang dihitung berdasarkan perbandingan antara tingkat kemampuan mental (mental age) dengan tingkat usia (chronological age), merentang mulai dari kemampuan dengan kategori Ideot sampai dengan Genius (Weschler dalam Nana Syaodih, 2005). Istilah IQ mula-mula diperkenalkan oleh Alfred Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian, Lewis Terman dari Universitas Stanford berusaha membakukan tes IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan mempertimbangkan norma-norma populasi sehingga selanjutnya dikenal sebagai tes Stanford-Binet.

Selama bertahun-tahun IQ telah diyakini menjadi ukuran standar kecerdasan, namun sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba kompleks, ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan sekaligus menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan bahkan publik awam, terutama apabila dihubungkan dengan tingkat kesuksesan atau prestasi hidup seseorang.

Adalah Daniel Goleman (1999), salah seorang yang mempopulerkan jenis kecerdasan manusia lainnya yang dianggap sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang, yakni Kecerdasan Emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan Emotional Quotient (EQ). Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.

Menurut hemat penulis sesungguhnya penggunaan istilah EQ ini tidaklah sepenuhnya tepat dan terkesan sterotype (latah) mengikuti popularitas IQ yang lebih dulu dikenal orang. Penggunaan konsep Quotient dalam EQ belum begitu jelas perumusannya. Berbeda dengan IQ, pengertian Quotient disana sangat jelas menunjuk kepada hasil bagi antara usia mental (mental age) yang dihasilkan melalui pengukuran psikologis yang ketat dengan usia kalender (chronological age).

Terlepas dari “kesalahkaprahan” penggunaan istilah tersebut, ada satu hal yang perlu digarisbawahi dari para “penggagas beserta pengikut kelompok kecerdasan emosional”, bahwasanya potensi individu dalam aspek-aspek “non-intelektual” yang berkaitan dengan sikap, motivasi, sosiabilitas, serta aspek – aspek emosional lainnya, merupakan faktor-faktor yang amat penting bagi pencapaian kesuksesan seseorang.

Berbeda dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cenderung bersifat permanen, kecakapan emosional (EQ) justru lebih mungkin untuk dipelajari dan dimodifikasi kapan saja dan oleh siapa saja yang berkeinginan untuk meraih sukses atau prestasi hidup.

Pekembangan berikutnya dalam usaha untuk menguak rahasia kecerdasan manusia adalah berkaitan dengan fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan. Kecerdasan intelelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) dipandang masih berdimensi horisontal-materialistik belaka (manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial) dan belum menyentuh persoalan inti kehidupan yang menyangkut fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (dimensi vertikal-spiritual). Berangkat dari pandangan bahwa sehebat apapun manusia dengan kecerdasan intelektual maupun kecerdasan emosionalnya. pada saat-saat tertentu, melalui pertimbangan fungsi afektif, kognitif, dan konatifnya manusia akan meyakini dan menerima tanpa keraguan bahwa di luar dirinya ada sesuatu kekuatan yang maha Agung yang melebihi apa pun, termasuk dirinya. Penghayatan seperti itu menurut Zakiah Darajat (1970) disebut sebagai pengalaman keagamaan (religious experience).

Brightman (1956) menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan tidak hanya sampai kepada pengakuan atas kebaradaan-Nya, namun juga mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur tata kehidupan alam semesta raya ini. Oleh karena itu, manusia akan tunduk dan berupaya untuk mematuhinya dengan penuh kesadaran dan disertai penyerahan diri dalam bentuk ritual tertentu, baik secara individual maupun kolektif, secara simbolik maupun dalam bentuk nyata kehidupan sehari-hari (Abin Syamsuddin Makmun, 2003).

Temuan ilmiah yang digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, dan riset yang dilakukan oleh Michael Persinger pada tahun 1990-an, serta riset yang dikembangkan oleh V.S. Ramachandran pada tahun 1997 menemukan adanya God Spot dalam otak manusia, yang sudah secara built-in merupakan pusat spiritual (spiritual centre), yang terletak diantara jaringan syaraf dan otak. Begitu juga hasil riset yang dilakukan oleh Wolf Singer menunjukkan adanya proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha yang mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup kita. Suatu jaringan yang secara literal mengikat pengalaman kita secara bersama untuk hidup lebih bermakna. Pada God Spot inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia yang terdalam (Ari Ginanjar, 2001). Kajian tentang God Spot inilah pada gilirannya melahirkan konsep Kecerdasan Spiritual, yakni suatu kemampuan manusia yang berkenaan dengan usaha memberikan penghayatan bagaimana agar hidup ini lebih bermakna. Dengan istilah yang salah kaprahnya disebut Spiritual Quotient (SQ)

Jauh sebelum istilah Kecerdasan Spiritual atau SQ dipopulerkan, pada tahun 1938 Frankl telah mengembangkan pemikiran tentang upaya pemaknaan hidup. Dikemukakannya, bahwa makna atau logo hidup harus dicari oleh manusia, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai : (1) nilai kreatif; (2) nilai pengalaman dan (3) nilai sikap. Makna hidup yang diperoleh manusia akan menjadikan dirinya menjadi seorang yang memiliki kebebasan rohani yakni suatu kebebasan manusia dari godaan nafsu, keserakahan, dan lingkungan yang penuh persaingan dan konflik. Untuk menunjang kebebasan rohani itu dituntut tanggung jawab terhadap Tuhan, diri dan manusia lainnya. Menjadi manusia adalah kesadaran dan tanggung jawab (Sofyan S. Willis, 2005).

Di Indonesia, penulis mencatat ada dua orang yang berjasa besar dalam mengembangkan dan mempopulerkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yaitu K.H. Abdullah Gymnastiar atau dikenal AA Gym, da’i kondang dari Pesantren Daarut Tauhiid – Bandung dengan Manajemen Qalbu-nya dan Ary Ginanjar, pengusaha muda yang banyak bergerak dalam bidang pengembangan Sumber Daya Manusia dengan Emotional Spritual Quotient (ESQ)-nya.

Dari pemikiran Ary Ginanjar Agustian melahirkan satu model pelatihan ESQ yang telah memiliki hak patent tersendiri. Konsep pelatihan ESQ ala Ary Ginanjar Agustian menekankan tentang : (1) Zero Mind Process; yakni suatu usaha untuk menjernihkan kembali pemikiran menuju God Spot (fitrah), kembali kepada hati dan fikiran yang bersifat merdeka dan bebas dari belenggu; (2) Mental Building; yaitu usaha untuk menciptakan format berfikir dan emosi berdasarkan kesadaran diri (self awareness), serta sesuai dengan hati nurani dengan merujuk pada Rukun Iman; (3) Mission Statement, Character Building, dan Self Controlling; yaitu usaha untuk menghasilkan ketangguhan pribadi (personal strength) dengan merujuk pada Rukun Islam; (4) Strategic Collaboration; usaha untuk melakukan aliansi atau sinergi dengan orang lain atau dengan lingkungan sosialnya untuk mewujudkan tanggung jawab sosial individu; dan (5) Total Action; yaitu suatu usaha untuk membangun ketangguhan sosial (Ari Ginanjar, 2001).

Berkembangnya pemikiran tentang kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) menjadikan rumusan dan makna tentang kecerdasan semakin lebih luas. Kecerdasan tidak lagi ditafsirkan secara tunggal dalam batasan intelektual saja. Menurut Gardner bahwa “salah besar bila kita mengasumsikan bahwa IQ adalah suatu entitas tunggal yang tetap, yang bisa diukur dengan tes menggunakan pensil dan kertas”. Hasil pemikiran cerdasnya dituangkan dalam buku Frames of Mind.. Dalam buku tersebut secara meyakinkan menawarkan penglihatan dan cara pandang alternatif terhadap kecerdasan manusia, yang kemudian dikenal dengan istilah Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence) (Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, 2002) .

Berkat kecerdasan intelektualnya, memang manusia telah mampu menjelajah ke Bulan dan luar angkasa lainnya, menciptakan teknologi informasi dan transportasi yang menjadikan dunia terasa lebih dekat dan semakin transparan, menciptakan bom nuklir, serta menciptakan alat-alat teknologi lainnya yang super canggih. Namun bersamaan itu pula kerusakan yang menuju kehancuran total sudah mulai nampak. Lingkungan alam merasa terusik dan tidak bersahabat lagi. Lapisan ozon yang semakin menipis telah menyebabkan terjadinya pemanasan global, banjir dan kekeringan pun terjadi di mana-mana Gunung-gunung menggeliat dan memuntahkan awan dan lahar panasnya. Penyakit-penyakit ragawi yang sebelumnya tidak dikenal, mulai bermunculan, seperti Flu Burung (Avian Influenza), AIDs serta jenis-jenis penyakit mematikan lainnya. Bahkan, tatanan sosial-ekonomi menjadi kacau balau karena sikap dan perilaku manusia yang mengabaikan kejujuran dan amanah (perilaku koruptif dan perilaku manipulatif).

Manusia telah berhasil menciptakan “raksasa-raksasa teknologi” yang dapat memberikan manfaat bagi kepentingan hidup manusia itu sendiri. Namun dibalik itu, “raksasa-raksasa teknologi” tersebut telah bersiap-siap untuk menerkam dan menghabisi manusia itu sendiri. Kecerdasan intelektual yang tidak diiringi dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritualnya, tampaknya hanya akan menghasilkan kerusakan dan kehancuran bagi kehidupan dirinya maupun umat manusia. Dengan demikian, apakah memang pada akhirnya kita pun harus bernasib sama seperti Dinosaurus ?

Dengan tidak bermaksud mempertentangkan mana yang paling penting, apakah kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional atau kecerdasan spiritual, ada baiknya kita mengambil pilihan eklektik dari ketiga pilihan tersebut. Dengan meminjam filosofi klasik masyarakat Jawa Barat, yaitu cageur, bageur, bener tur pinter, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa dengan kecerdasan intelektualnya (IQ) orang menjadi cageur dan pinter, dengan kecerdasan emosional (EQ) orang menjadi bageur, dan dengan kecerdasan spiritualnya (SQ) orang menjadi bener. Itulah agaknya pilihan yang bijak bagi kita sebagai pribadi maupun sebagai pendidik (calon pendidik)!

Sebagai pribadi, salah satu tugas besar kita dalam hidup ini adalah berusaha mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusian yang kita miliki, melalui upaya belajar (learning to do, learning to know (IQ), learning to be (SQ), dan learning to live together (EQ), serta berusaha untuk memperbaiki kualitas diri-pribadi secara terus-menerus, hingga pada akhirnya dapat diperoleh aktualisasi diri dan prestasi hidup yang sesungguhnya (real achievement).

Sebagai pendidik (calon pendidik), dalam mewujudkan diri sebagai pendidik yang profesional dan bermakna, tugas kemanusiaan kita adalah berusaha membelajarkan para peserta didik untuk dapat mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusian yang dimilikinya, melalui pendekatan dan proses pembelajaran yang bermakna (Meaningful Learning) (SQ), menyenangkan (Joyful Learning) (EQ) dan menantang atau problematis (problematical Learning) (IQ), sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang cageur, bageur, bener, tur pinter.

Sebagai penutup tulisan ini, mari kita renungkan ungkapan dari Howard Gardner bahwa : “BUKAN SEBERAPA CERDAS ANDA TETAPI BAGAIMANA ANDA MENJADI CERDAS ! ”

Sumber Bacaan :

  • Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
  • Akhmad Sudrajat. 2006. Psikologi Pendidikan. Kuningan : PE-AP Press
  • Ary Ginanjar Agustian. 2001. ESQ Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam; Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Sipritual. Jakarta : Arga.
  • Basyar Isya. 2002. Menjadi Muslim Prestatif. Bandung : MQS Pustaka Grafika
  • Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl. 2002. Accelerated Learning for The 21st Century (terj. Dedi Ahimsa). Bandung : Nuansa.
  • Daniel Goleman.1999. Working With Emotional Intelligence. (Terj. Alex Tri Kancono Widodo), Jakarta : PT Gramedia.
  • E.Mulyasa. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep, Karakteristik dan Implementasi. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
  • Gendler, Margaret E. 1992. Learning & Instruction; Theory Into Practice. New York: McMillan Publishing.
  • H.M. Arifin. 2003. Teori-Teori Konseling Agama dan Umum. Jakarta. PT Golden Terayon Press.
  • Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
  • Sofyan S. Willis. 2004. Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta
  • Syamsu Yusuf LN। 2003. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja॥ Bandung: PT Rosda Karya Remaja.
  • http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/12/tentang-iq-eq-dan-sq/

Konsep Pendidikan Karakter


Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.

Konsep Pendidikan Karakter

Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).

Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.

Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.

Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.

Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.

Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.

Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.

Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut.

Kofigurasi Karakter

Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral. Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989) mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

=============

Sumber diambil dari:

Kemendiknas. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama . जकार्ता

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/09/15/konsep-pendidikan-karakter/