Senin, 03 Mei 2010

pendidikan kita ( berbagai artikel pendidikan)



Dahlian Siregar

Instrumen Ujian Nasional sebagai Penentu Kelulusan Berpotensi Merugikan Siswa

UJIAN (Akhir) Nasional alias UN selama ini sepertinya hanya diperlakukan semacam upacara ritual tahunan tanpa memberikan pengaruh berarti terhadap upaya pembina dan pengelola serta pelaksana pendidikan pada tingkat sekolah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan. Masukan berupa informasi pendidikan yang diperoleh lewat Ujian Akhir Nasional hanya diperlakukan sebagai barang pajangan dan menjadi dokumen mati.

APABILA sumber data ujian itu dipakai, pemanfaatannya pun hanya sebatas pada bahan kajian beberapa peneliti Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) untuk kepentingan cum jabatan peneliti; sedangkan para pejabat pengelola kebijakan pada tingkat pusat (direktorat, Puspendik, dan pusat kurikulum) hampir dapat dipastikan tidak akan menyentuh dan memperbincangkannya lagi sampai masa ujian berikutnya.

Keteguhan sikap Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) untuk tetap mempertahankan praktik UN pada sistem pendidikan menengah patut dihormati. Namun, pandangan dan pemikiran kritis terhadap praktik ujian akhir itu harus diutarakan agar sasaran yang dibuat dapat lebih proporsional, terarah, dan pencapaiannya dapat dimaksimalkan.

Meskipun praktik ujian akhir dapat digunakan untuk memengaruhi kualitas pendidikan, namun sebagaimana dikemukakan Ken Jones, asumsi dan rasionalitas yang digunakan pada high stake exams (seperti UN ini) pada umumnya sering bertentangan dengan kenyataan lapangan. Sebagaimana diketahui bahwa realitas pendidikan (sekolah) di Tanah Air sangat beragam, apakah itu sarana-prasarana pendidikan, sumber daya guru, dan school leadership. Diskrepansi kualitas pendidikan yang begitu lebar sebagai akibat dari keterbatasan kemampuan pengelola pendidikan pada tingkat pusat, daerah, dan sekolah semakin menguatkan tuduhan masyarakat selama ini bahwa penggunaan instrumen UN untuk menentukan kelulusan (sertifikasi) dan seleksi berpotensi misleading, bias, dan melanggar keadilan dalam tes.

Selain itu, instrumen UN yang akan digunakan pun sebenarnya masih menyimpan berbagai pertanyaan mendasar yang menuntut jawaban (baca: pembuktian), khususnya menyangkut metodologi, terutama pada saat melakukan interpretasi terhadap hasil skor tes dan pemanfaatannya agar sesuai dengan tujuan diselenggarakannya UN (validity evidence).

Pemanfaatan ganda (multiple purposes) hasil skor ujian yang bersifat tunggal semacam UN sebenarnya menyimpan berbagai potensi permasalahan mendasar secara metodologis, yang sebenarnya sudah sangat diketahui dan dipahami jajaran Puspendik Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Namun, yang agak mencengangkan dan mengundang pertanyaan, mengapa potensi kesalahan seperti pemanfaatan hasil skor UN untuk berbagai keperluan dan tujuan secara bersamaan tidak dikemukakan secara jujur kepada masyarakat pemakai (users) produk pendidikan dan stakeholders. Kenapa Puspendik tidak mengusulkan pemanfaatan hasil skor UN hanya sebatas pada alat pengendali mutu pendidikan nasional, sebagaimana yang dilakukan pada National Assessment of Educational Progress (NAEP) di Amerika Serikat, dan bukan untuk penentuan kelulusan (sertifikasi), apalagi sebagai tujuan untuk seleksi dan memecut mutu pendidikan sehingga persoalan metodologi yang mungkin timbul dapat dihindarkan.

TULISAN ini ditujukan sebagai masukan konstruktif bagi Mendiknas yang berkaitan dengan konsep dan praktik penilaian pendidikan di Tanah Air. Ujian atau tes sebenarnya berfungsi sebagai alat rekam dan/atau prediksi. Sebagai alat rekam untuk memotret, tes biasanya diselenggarakan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman siswa terhadap suatu materi atau sejumlah materi dan keterampilan yang sudah diajarkan/dipelajari sesuai dengan tujuan kurikulum sehingga guru dapat menentukan langkah-langkah program pengajaran berikutnya.

Selain itu, tes juga bisa digunakan sebagai alat prediksi sebagaimana yang lazim digunakan pada tes seleksi masuk perguruan tinggi atau tes-tes yang digunakan untuk menerima pegawai baru atau promosi jabatan pada suatu perusahaan atau instansi pemerintah. Sebagai alat prediksi, hasil tes diharapkan mampu memberikan bukti bahwa seorang dapat melakukan tugas atau pekerjaan yang akan diamanatkan kepadanya. Apabila hasil tes yang digunakan mampu menunjukkan bukti terhadap peluang keberhasilan seorang kandidat mahasiswa atau calon pegawai melakukan tugas dan pekerjaan di hadapannya, tes itu diyakini memiliki kelayakan validity evidences.

Ujian atau tes sebenarnya hanyalah sebuah alat (bukan tujuan) yang digunakan untuk memperoleh informasi pencapaian terhadap proses pendidikan yang sudah dilakukan dan/atau yang akan diselenggarakan. Ujian atau tes tidak berfungsi untuk memecut, apalagi memiliki kemampuan mendorong mutu.

Namun, ujian atau tes memiliki kemampuan untuk memengaruhi proses pembelajaran di tingkat kelas sehingga menjadi lebih baik dan terarah sesuai dengan tuntutan dan tujuan kurikulum. Karena ujian hanya mampu memengaruhi pada proses pembelajaran pada tingkat kelas, maka pengaruh yang diakibatkannya tidak senantiasa positif. Sebaliknya, pengaruh itu dapat juga sangat bersifat destruktif terhadap kegiatan pendidikan, seperti apabila guru hanya memfokuskan kegiatan pembelajaran pada latihan-latihan Ujian Akhir Nasional atau pimpinan sekolah sengaja mengundang dan membiarkan Bimbingan Tes Alumni (BTA) masuk ke dalam sistem sekolah untuk mengedril siswa yang akan menempuh ujian akhir itu.

Dalam bahasa testing kegiatan itu disebut teaching for the test. Praktik pendidikan semacam itu sangat bertentangan dengan tujuan diselenggarakannya pendidikan formal di negara mana pun karena akan menyebabkan terjadinya proses penyempitan kurikulum (curriculum contraction).

UNSUR yang paling pokok dan sangat penting yang harus diperhatikan sebagai bahan pertimbangan dalam membuat interpretasi hasil skor tes siswa peserta ujian adalah validitas. Konsep validitas ini sebelumnya dipahami sebagai sebuah konsep yang terfragmentasi sehingga sering mengantarkan praktisi penilaian pendidikan kepada kebingungan dan berpikir secara keliru.

Studi validitas dilakukan untuk membuktikan bahwa kegiatan interpretasi dan pemanfaatan hasil skor tes yang ada sudah sesuai dengan tujuan diselenggarakan ujian. Sebagai misal, apabila kita menyusun seperangkat tes kemampuan/keterampilan membaca yang digunakan sebagai alat ukur untuk menentukan kelulusan (sertifikasi) SMA. Bagaimana cara kita menilai apakah proses interpretasi hasil ujian itu sudah dilakukan secara valid? Untuk keperluan itu kita harus membuat sejumlah pertanyaan, antara lain: apakah hasil skor tes itu sudah merupakan alat ukur yang sesuai dan tepat untuk tujuan di muka, yaitu untuk mengukur kemampuan/keterampilan membaca.

Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi ujian akhir adalah untuk memberikan sertifikasi bahwa siswa sudah belajar atau menguasai keterampilan membaca sebagaimana yang diminta pada kurikulum. Atas dasar itu, bukti-bukti validitas yang diperlihatkan harus mampu membuktikan bahwa skor yang diperoleh benar sudah mengukur keterampilan membaca, sebagaimana yang dijabarkan pada tujuan kurikulum.

Terdapat banyak sekali bukti yang harus dikumpulkan untuk melakukan kegiatan interpretasi terhadap hasil skor tes itu. Kita dapat menunjukkan bahwa instrumen tes yang digunakan sudah sesuai dengan tujuan pelajaran keterampilan membaca pada kurikulum. Selain itu, kita juga harus mampu menunjukkan bahwa jumlah jawaban yang benar pada soal tes betul-betul sudah sejalan dengan penekanan kegiatan pengajaran membaca pada kurikulum. Lebih dari itu, kita juga harus mampu menunjukkan bahwa keterampilan membaca teks singkat yang tercermin dari kemampuan siswa menjawab dengan benar soal pilihan ganda itu memiliki kualifikasi yang sama apabila yang bersangkutan diberikan teks bacaan yang lebih panjang, atau membaca novel, artikel surat kabar. Kita juga harus mampu membuktikan bahwa konten bacaan yang disajikan pada soal tes sudah merupakan representasi dari isi bacaan yang dianggap penting dan challenging yang mampu menggali kemampuan/keterampilan membaca siswa yang lebih dalam dan ekstensif; jadi bukan hanya berupa pertanyaan-pertanyaan yang bersifat superficial, faktual, atau trivial.

Apabila kita tidak mampu menunjukkan seluruh bukti di muka, validitas interpretasi yang dibuat terhadap hasil skor tes sangat lemah. Selain itu, kita juga harus mampu membuktikan bahwa skor yang tinggi yang diperoleh siswa bukan semata-mata sebagai akibat dari test wiseness, yaitu kemampuan siswa menjawab soal dengan benar sebagai akibat dari format soal pilihan ganda, tutorial khusus yang diberikan menjelang tes, seperti kegiatan bimbingan tes, menyontek, dan seterusnya. Lebih dari itu kita juga harus mampu menunjukkan bahwa skor rendah yang diperoleh siswa bukan hanya semata-mata disebabkan oleh faktor kegugupan pada diri siswa pada saat ujian. Selain itu, kita juga harus mampu menunjukkan bahwa latar belakang budaya siswa tidak membawa pengaruh terhadap kemampuan mereka menjawab soal tes dengan benar.

Semua faktor yang disajikan di muka dapat merupakan ancaman terhadap interpretasi validitas sebuah alat ukur yang bersifat tunggal (seperti pada UN) yang digunakan untuk mendeteksi kemampuan/keterampilan membaca. Apabila kita tidak mampu menunjukkan bukti (evidences), hasil ujian berupa skor tes untuk mengukur kemampuan/keterampilan membaca memiliki tingkat validitas yang rendah.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian di muka bahwa kita harus mampu menunjukkan bukti dan penalaran yang logis untuk membuat keputusan pemanfaatan atas hasil skor tes. Untuk keperluan itu kita tidak bisa hanya berpatokan pada hasil satu kali studi dan mengklaim bahwa kita sudah memiliki tes valid yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan.

Syamsir Alam Mantan Staf Teknis Puspendik, Balitbang Depdiknas

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/27/Didaktika/1838832.htm

Benarkah Ujian Nasional Dapat Memengaruhi Peningkatan Mutu Pendidikan dan Etos Kerja?

(Sebuah Masukan untuk Pemerintah)

SAYA terharu dan ikut merasakan keprihatinan Wakil Presiden Jusuf Kalla terhadap rendahnya etos kerja rakyat Indonesia. Keprihatinan ini jelas dirasakan oleh para pendiri republik ini. Karena itu, pendiri republik menetapkan bahwa salah satu fungsi penyelenggaraan pemerintahan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.

Untuk itu pula para pendiri republik menetapkan dalam UUD 1945 perlu diselenggarakannya satu sistem pengajaran nasional (sistem persekolahan) dan memajukan kebudayaan nasional. Para pendiri republik berangkat dari pengalamannya sendiri-sendiri mengikuti pendidikan sekolah yang bermutu dan perbandingan perkembangan negara-negara yang kini masuk dalam jajaran negara maju, adalah negara yang menjadikan sekolah sebagai wahana untuk membangun suatu negara bangsa melalui proses transformasi budaya. Pertanyaannya adalah seberapa jauh ujian nasional dapat menjadi penentu peningkatan mutu pendidikan dan etos kerja rakyat Indonesia?

Sebagai pelajar ilmu pendidikan yang telah berkesempatan mempelajari pendidikan sebagai ilmu pengetahuan sejak usia muda, yang berkesempatan terlibat dalam proses pembaruan pendidikan pada tahun 1963-1967 dan 1971-1981, yang berkesempatan mempelajari pelaksanaan pendidikan di negara maju (2 tahun di Amerika Serikat, 4 tahun di Jerman, 4 bulan di Jepang, dan 3 bulan di Singapura) dan secara terus-menerus menjadi pengajar ilmu pendidikan, melalui tulisan ini ingin memberikan tinjauan analitik secara ringkas tentang faktor yang memengaruhi peningkatan mutu pendidikan dan kedudukan evaluasi dan ujian nasional terhadap peningkatan mutu pendidikan.

SUATU pendidikan dipandang bermutu-diukur dari kedudukannya untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional-adalah pendidikan yang berhasil membentuk generasi muda yang cerdas, berkarakter, bermoral dan berkepribadian. Dalam bahasa UNESCO (1996) mampu moulding the character and mind of young generation.

Untuk itu perlu dirancang suatu sistem pendidikan yang mampu menciptakan suasana dan proses pembelajaran yang menyenangkan, merangsang dan menantang peserta didik untuk mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik berkembang secara optimal sesuai dengan bakat dan kemampuannya adalah salah satu prinsip pendidikan demokratis. Sebagai lawan dari penyelenggaraan pendidikan yang menjadikan pendidikan hanya sebagai sarana untuk memilih dan memilah.

Atas dasar ini pula, negara maju yang demokratis, seperti Amerika Serikat dan Jerman, tidak mengenal ujian nasional untuk memilih dan memilah. Kebijaksanaan yang diutamakan adalah membantu setiap peserta didik dapat berkembang secara optimal, yaitu dengan: (1) menyediakan guru yang profesional, yang seluruh waktunya dicurahkan untuk menjadi pendidik; (2) menyediakan fasilitas sekolah yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan penuh kegembiraan dengan fasilitas olahraga dan ruang bermain yang memadai dan ruang kerja guru; (3) menyediakan media pembelajaran yang kaya, yang memungkinkan peserta didik dapat secara terus-menerus belajar melalui membaca buku wajib, buku rujukan, dan buku bacaan, (termasuk novel), serta kelengkapan laboratorium dan perpustakaan yang memungkinkan peserta didik belajar sampai tingkatan menikmati belajar; (4) evaluasi yang terus-menerus, komprehensif dan obyektif.

Yang terakhir inilah, yang dalam pandangan saya berdasarkan penelitian, dapat memengaruhi dapat tidaknya kita menjadikan sekolah sebagai pusat pembudayaan berbagai kemampuan dan nilai, etos kerja, disiplin, jujur dan cerdas, serta bermoral. Melalui model pembelajaran yang seperti inilah, yaitu peserta didik setiap saat dinilai tingkah lakunya, kesungguhan belajarnya, hasil belajarnya, kemampuan intelektual, partisipasinya dalam belajar yang-menurut pengamatan saya-menjadikan sekolah di Jerman dan Amerika Serikat mampu menghasilkan rakyat yang beretos kerja tinggi, peduli mutu, dan gemar belajar.

Mereka setiap hari belajar selalu mendapat tugas dari semua mata pelajaran yang proses maupun hasilnya dinilai dan nilai-nilai ini memengaruhi nilai akhir semester dan seterusnya. Model seperti ini di Indonesia, dari periode Menteri Mashuri sampai Daoed Joesoef, telah dikembangkan melalui Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) di beberapa tempat (Padang, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Ujung Pandang, sekarang Makassar). Melalui sekolah-sekolah tersebut diterapkan prinsip belajar tuntas (learning for mastery) sebelum mencapai tingkat penguasaan tertentu belum boleh mengikuti pelajaran berikutnya dan belajar berkelanjutan (continuous progress).

Setelah enam tahun dicobakan, model tersebut ternyata lebih efektif dari sistem yang di sekolah biasa. Sayangnya, karena pertimbangan mahalnya pelaksanaan model tersebut, oleh Menteri Nugroho Notosusanto program tersebut tidak dilanjutkan. Pada periode itu, yaitu periode Menteri Mashuri, Menteri Soemantri Brojonegoro, Menteri Sjarif Thayeb, dan Menteri Daoed Joesoef, dari tahun 1968 sampai dengan periode Menteri Nugroho Notosusanto, Indonesia tidak menerapkan ujian nasional. Semula Menteri Daoed Joesoef akan menerapkan ujian nasional, pada saat itu sebagai Staf Ahli Menteri-yang baru menyelesaikan penelitian untuk disertasi doktor pada tahun 1981, saya menulis memo kepada Menteri Daoed Joesoef, yang intinya agar beliau tidak menerapkan ujian nasional.

Dari penelitian yang kami lakukan dan dilakukan di Amerika Serikat (Benjamin Bloom) ditemukan bahwa tingkah laku belajar peserta didik dipengaruhi oleh perkiraan peserta didik tentang apa yang akan dinilai (diujikan). Karena itu, ujian nasional yang umumnya menanyakan dimensi kognitif dari mata pelajaran akan menjadikan peserta didik selama belajar tidak merasa perlunya melakukan eksperimen di laboratorium, tidak perlu membaca novel, tidak perlu latihan mengarang, tidak perlu melakukan kegiatan terus-menerus secara berdisiplin dan berbagai kegiatan belajar yang dalam dirinya diarahkan untuk menanamkan nilai dan mengembangkan sikap. Sebab, kesemuanya itu tidak akan diujikan/dinilai. Dampak lebih lanjut adalah munculnya lembaga bimbingan tes yang mengakibatkan tidak lagi menjadikan sekolah sebagai pusat pembudayaan.

Saya tidak menolak keampuhan pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris sebagai indikator kecerdasan peserta didik. Akan tetapi, dengan pelaksanaan pendidikan yang demikian, SMA sebagai sekolahnya semua lulusan SMP. Bandingkan dengan Singapura, yang untuk masuk SMA (Junior College) peserta didik sudah disaring sejak kelas 5 SD, demikian juga dengan Jerman yang untuk memasuki SMA Jerman (Gymnasium), anak didik disaring sejak masuk kelas V, dan di Amerika Serikat yang sejak kelas 9 telah diadakan diversifikasi kurikulum, yaitu kurikulum untuk calon mahasiswa (Preparatory College) yang berbeda dari kurikulum untuk mereka yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi calon mahasiswa.

Mengapa? Karena SMA di Indonesia peserta didiknya meliputi juga mereka yang secara akademik tidak memenuhi syarat untuk menjadi calon mahasiswa dan dengan fasilitas tenaga guru yang tidak merata, baik jumlah maupun mutunya. Di Amerika Serikat dan Jerman, untuk menjadi mahasiswa-apa pun jurusannya-harus berhasil dalam pelajaran Kalkulus, Trigonometri, Fisika, dan Bahasa Asing. Dr Mochtar Buchori menyatakan bahwa kurikulum SMA kita hanya dapat diikuti oleh 30 persen peserta didik. Karena itu, dapat diramalkan bahwa mereka yang benar-benar dapat lulus ujian nasional, yang seharusnya minimum 6 (sesuai dengan pandangan Wapres) tidak akan lebih dari 40 persen.

Dan, dapat diramalkan pula bahwa bila demikian hasilnya akan berakibat hasil ujian nasional kembali hanya akan menjadi salah satu penentu kelulusan. Dan ini yang terjadi pada tahun 2004, yang karena rendahnya jumlah yang lulus, lalu dilakukan rumus konversi. Apalagi kalau dikembalikan ke daerah, akan kembali bahwa semua dapat diatur dan tidak ada aturan yang pasti. Dan ini, dalam pandangan saya, adalah akar dari budaya koruptif.

ATAS dasar serangkaian ulasan terdahulu, seyogianya ujian nasional yang sudah direncanakan tidak digunakan untuk menentukan kelulusan, apalagi untuk SMP. Karena, SMP adalah bagian dari wajib belajar, yang ketentuannya adalah lamanya pendidikan yang harus ditempuh, yaitu sembilan tahun. Rencana ujian nasional itu hanya dapat digunakan untuk: (1) memperoleh peta mutu hasil belajar pada tiga mata pelajaran yang diujikan sebagai dasar untuk melakukan serangkaian perbaikan dan pembaruan, (2) menentukan lulusan SMA yang dapat melanjutkan pendidikan ke universitas, untuk itu minimum nilai kelulusan adalah 6 (dalam skala 1-10), dan (3) menentukan lulusan SMP yang dapat melanjutkan pendidikan ke SMA.

Adapun kelulusan peserta didik ditetapkan oleh sekolah berdasarkan prestasi mereka yang diamati secara terus-menerus oleh para pendidik.

Secara ringkas kiranya dapat disimpulkan bahwa ujian nasional, seperti pendapat Prof Dr Winarno Surakhmad, tidak dapat menjadi penentu peningkatan mutu pendidikan, banyak elemen dari sistem persekolahan yang perlu ditata sebagai minimum quality assurance bagi meningkatnya mutu pendidikan. Dan, bila ketentuan UUD 1945 Pasal 31 dan UU Sistem Pendidikan Nasional secara konsekuen dilaksanakan, mutu pendidikan akan dapat mulai ditingkatkan.

H Soedijarto Guru Besar Ilmu Pendidikan UNJ, Ketua Umum Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia, Ketua Badan Akreditas Sekolah Nasional, Ketua CINAPS

sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0502/28/Didaktika/1579467.htm

Yang Terlewatkan dalam Pendidikan

ADA kesan kuat, baik guru, orangtua, maupun murid, selalu didorong untuk mengejar dan menghimpun informasi keilmuan sebanyak mungkin, namun melupakan aspek pendidikan yang fundamental, yaitu bagaimana menjalani hidup dengan terhormat. Salah satu penyebab merebaknya korupsi ialah gagalnya dunia pendidikan dalam pembentukan karakter agar hidup selalu dipandu nurani.

Pagi-pagi, seorang ibu dan anaknya dengan wajah tegang menuju rumah seorang aparat pemerintah. Pertemuan itu tak lebih dari 10 menit. Ibu dan anak pamit, dan pulang dengan wajah ceria. Keceriaan disampaikan kepada ayahnya melalui telepon. Apa yang terjadi?

Rupanya ibu dan anak itu berhasil memperoleh bocoran soal ujian setelah membayar sejumlah uang. Apa yang signifikan dari peristiwa ini? Jika peristiwa itu direnungkan, suatu hal amat jelas. Orangtua telah menanamkan virus kehidupan kepada anak bahwa sukses bisa dibeli dengan uang, dengan menyogok, dan semua itu seolah sah-sah saja. Peristiwa itu juga menggoreskan catatan seumur hidup di hati anak. Pagi itu, orangtua telah merobohkan prinsip kejujuran. Akibatnya, jika suatu saat orang atau guru mengajarkan nilai-nilai kejujuran, anak akan menilai semua itu bisa ditawar. Singkatnya, secara moral orangtua tidak lagi punya wibawa untuk mengajarkan kejujuran di mata anaknya.

Belum lama ini saya dibuat tercenung membaca Pojok Kompas (15/1). Tertulis: "Kelulusan 322 calon PNS di Departemen Agama dibatalkan sebab yang bersangkutan tak ikut tes". Di lingkungan Depag, juga di departemen lain, kecurangan seperti ini bukan hal baru. Namun saat korupsi terjadi di Depag, implikasi moral politiknya lebih besar karena bisa mengarah pada logika bahwa Depag yang mestinya berperan sebagai "sapu yang bersih" telah terseret dan menyatu bersama sampah yang hendak dibersihkan.

Pendidikan berbasis karakter

Pendidikan adalah usaha sistematis dengan penuh kasih untuk membangun peradaban bangsa. Di balik sukses ekonomi dan teknologi yang ditunjukkan negara-negara maju, semua itu semula disemangati nilai-nilai kemanusiaan agar kehidupan bisa dijalani lebih mudah, lebih produktif, dan lebih bermakna. Namun banyak masyarakat yang lalu gagal menjaga komitmen kemanusiaannya setelah sukses di bidang materi, yang oleh John Naisbit diistilahkan High-Tech, Low-Touch. Yaitu gaya hidup yang selalu mengejar sukses materi, tetapi tidak disertai dengan pemaknaan hidup yang dalam. Akibatnya, orang lalu menitipkan harga dirinya pada jabatan dan materi yang menempel, tetapi kepribadiannya keropos.

Seseorang merasa diri hebat dan berharga bukan karena kualitas pribadinya, tetapi jabatan dan kekayaan, meski diraih dengan cara tidak terhormat. Pribadi semacam ini oleh Erich Fromm disebut having oriented, bukan being oriented, pribadi yang obsesif untuk selalu mengejar harta dan status, tetapi tidak peduli pada pengembangan kualitas moral.

Ketika pendidikan tidak lagi menempatkan prinsip-prinsip moralitas agung sebagai basisnya, maka yang akan dihasilkan adalah orang yang selalu mengejar materi untuk memenuhi tuntutan physical happiness yang durasinya hanya sesaat dan potensial membunuh nalar sehat dan nurani. Padahal, aktualisasi nilai kemanusiaan membutuhkan perjuangan hidup sehingga seseorang akan merasa lebih berharga dan bahagia saat mampu meraih kebahagiaan nonmateri, yaitu intellectual happiness, aesthetical happiness, moral happiness ,dan spiritual happiness. Pendidikan yang sehat adalah yang secara sadar membantu anak didik bisa merasakan, menghayati, dan menghargai jenjang makna hidup dari yang bersifat fisikal sampai yang moral, estetikal, dan spiritual. Peradaban dunia selalu dibangun oleh tokoh-tokoh moral-spiritual, yang dihancurkan politisi dan teknokrat yang mabuk kekuasaan.

Selama ini produk pendidikan amat kurang membantu pertumbuhan spiritualitas anak sehingga mereka sulit mengagumi keramahan langit terhadap bumi, gemercik air, festival awan, kekompakan hidup dunia semut, dan perilaku alam lain yang semua itu merupakan ayat-ayat Tuhan dan bacaan terbuka yang amat indah. Ini semua disebabkan kesalahan proses pendidikan yang kita dapat, yang hampir melupakan dimensi akal budi dan emosi serta tidak memandang alam sebagai entitas yang hidup.

Sebenarnya tak ada benda mati di hadapan orang yang akal budinya hidup. Terlebih di hadapan Tuhan, semuanya hidup dan bekerja atas perintah-Nya karena tercipta bukan tanpa tujuan. Pendidikan kita kurang mengajarkan bagaimana bersahabat dan berdialog dengan kehidupan secara menyeluruh.

Sebuah kasus menarik saat bencana tsunami di Aceh, hampir tidak ditemukan bangkai sapi atau kerbau dan hewan lain karena semuanya telah menyelamatkan diri. Hewan-hewan itu memiliki kepekaan dan mampu berdialog dengan sesama penghuni bumi saat bahaya akan datang. Kalaupun ada yang mati, itu lebih dikarenakan hewan-hewan itu kurang makan atau terjebak di kandang.

Belajar dan mengajar dengan hati

Seiring munculnya kesadaran dan tuntutan moral dalam dunia bisnis, dalam dunia pendidikan juga muncul gerakan baru untuk melibatkan emosi dan nurani dalam proses pembelajaran. Dipopulerkan oleh Danah Zohar, Ian Marshall, dan Daniel Golleman, literatur seputar betapa vitalnya dimensi spiritual dan emosional dalam kerja dan belajar kian diapresiasi kalangan eksekutif muda dan praktisi pendidikan. Misalnya, Training ESQ- Leadership yang dimotori Ary Ginanjar mendapat sambutan masyarakat.

Pelatihan ini menghasilkan lebih dari 50.000 alumni, tersebar di seluruh perusahaan di Indonesia, dan tiap bulan bertambah sedikitnya 7.000. Bahkan training ini telah masuk kurikulum SESKOAD Bandung. Fenomena ini tentu amat menggembirakan, sebuah kebangkitan kesadaran etis dan spiritual dalam upaya membangun bangsa yang bermartabat serta mendorong lahirnya generasi baru yang setia dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan ketuhanan.

Ada beberapa buku yang sebaiknya dibaca para guru, misalnya karya-karya Eric Jensen, Thomas Armstrong, dan Dave Meier soal bagaimana menciptakan proses dan suasana pembelajaran dengan mengacu pada sifat otak dan emosi (brain based learning) sehingga suasana belajar menjadi nyaman, kreatif, dan kontemplatif. Pembelajaran yang menjadikan siswa sebagai subyek, di mana anak-anak itu memiliki nurani dan potensi multikecerdasan, namun belum tergali dan teraktualisasi. Dengan demikian, proses pembelajaran sebaiknya dimulai dengan melihat, mengamati, dan merasakan lingkungan sosial yang dihadapi, guru dan murid berempati menjadi bagian integral dari realitas sosial dan semesta. Dari situ keilmuan dibangun untuk membantu memecahkan problem kemanusiaan.

Semua ilmu pengetahuan awalnya adalah produk kegelisahan akal budi dan nurani guna meringankan beban hidup manusia. Celakanya, banyak kaum profesional dan birokrat yang dengan ilmu dan jabatannya malah menjadi penindas rakyat. Rakyat amat merindukan pemimpin, birokrat, dan pelaku pasar yang senantiasa mempertahankan prinsip hidup terhormat, hidup yang dipimpin suara hati, meski bisa jadi harus siap hidup sederhana. Itu semua harus dimulai dari pendidikan keluarga dan sekolah yang menjunjung tinggi pendidikan karakter.

Komaruddin Hidayat Pembina Sekolah Berwawasan Internasional (SBI) Madania

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0502/03/opini/1538957.htm

Petaka Pendidikan Nasional


Dua kali ujian nasional pada 2006 memberi kejutan. Pertama, ketika angka kelulusan melonjak luar biasa. Pada tingkat sekolah menengah atas, dari 80,76 persen naik menjadi 92,50 persen, dan madrasah aliyah, dari 80,73 persen menjadi 90,82 persen. Adapun untuk sekolah menengah kejuruan, dari 78,29 persen menjadi 91,00 persen. Kedua, pengakuan guru dan murid dari berbagai daerah bahwa mereka telah melakukan dan menyaksikan kecurangan dalam penyelenggaraan ujian nasional.

Bagian pertama menjelaskan hasil, bagian kedua menjelaskan proses. Hasil ujian nasi0nal yang gilang gemilang dan telanjur membuat bangga pemerintah ternyata didapat dari proses manipulatif. Karena itu, para guru yang mengetahui proses memperingatkan pemerintah agar tidak menjadikan tingginya persentase kelulusan sebagai indikator peningkatan mutu pendidikan nasional.

Para guru bukannya tidak mengetahui risiko atas apa yang dilakukannya, tapi nurani mereka berontak. Selama empat kali pelaksanaan ujian nasional, harus diam dan terus membodohi diri sendiri hanya untuk memuaskan kepentingan atasan. Selain itu, ujian nasional telah merampas hak pedagogis dalam menentukan kelulusan. Mereka yang mengetahui seluk-beluk mengenai murid, tapi kemudian pemerintah yang memutuskan siapa yang berhak atau tidak berhak lulus. Intervensi tersebut jelas menggambarkan rendahnya kadar kepercayaan pemerintah terhadap guru.

Apa yang diungkapkan oleh para guru sungguh mencengangkan. Ujian nasional, yang oleh pemerintah diharapkan mampu mendorong murid agar belajar lebih giat, ternyata dimanipulasi secara sistemik. Setidaknya ada tiga modus yang digunakan dalam kecurangan ujian nasional dan ketiganya memposisikan guru sebagai operator. Pertama, sebelum ujian nasional dilaksanakan. Cara yang dipakai dengan membocorkan soal. Misalnya pengakuan murid di Garut, mereka diperintahkan datang lebih awal ke sekolah agar bisa memperoleh jawaban dari guru.

Kedua, jawaban dibuat pada saat ujian. Biasanya dilakukan oleh tim, yang berisi guru bidang studi. Proses distribusi jawaban bervariasi, ada yang menggunakan telepon seluler, seperti yang terjadi di Cilegon. Dalam satu kelas, satu atau dua murid dijadikan sebagai simpul. Mereka bertugas menerima dan membagikan jawaban kepada yang lain melalui kode tertentu. Ada pula yang memakai kertas kecil atau kertas unyil. Murid mengambilnya di tempat yang sudah disepakati dengan tim.

Ketiga, tim bekerja setelah ujian nasional selesai. Biasanya murid diminta tidak menjawab pertanyaan yang dianggap sulit karena nantinya tim yang akan mengisi. Tapi ada pula yang membiarkan murid menjawab. Apabila salah, tugas tim yang akan membetulkan. Walau lokasi kecurangan umumnya terjadi di sekolah, bukan berarti Departemen Pendidikan Nasional bisa lepas tanggung jawab. Sebab, sumber masalahnya ada pada kebijakan ujian nasional. Melalui ujian nasional, pemerintah telah melakukan re-sentralisasi pendidikan, padahal di sisi lain, pelayanan dan pembiayaan cenderung didesentralisasi.

Dasar resentralisasi adalah asumsi bahwa biang keladi buruknya mutu pendidikan adalah guru dan murid malas belajar. Agar mereka rajin, penentuan kelulusan harus diambil alih. Padahal pemerintah sendiri telah gagal dalam menjalankan kewajiban menyediakan layanan pendidikan bermutu, yang membuat guru dan murid tidak nyaman dalam menjalankan proses belajar-mengajar. Melalui kebijakan ujian nasional, daerah dan sekolah dipaksa membenarkan asumsi pemerintah. Padahal kondisinya tidak memungkinkan untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pelayanan pendidikan di daerah umumnya masih buruk. Karena itu, dipilih cara instan, yaitu dengan melakukan manipulasi. Apalagi hasil ujian nasional juga mempertaruhkan citra daerah dan sekolah.

Tidak mengherankan apabila terjadi penekanan secara berjenjang. Pemerintah daerah yang merasa tertekan pemerintah pusat akan menekan sekolah. Ambil contoh di Garut. Bupati mengancam akan memutasi kepala sekolah yang kelulusan muridnya di bawah 95 persen (Republika, 17 Mei 2006). Dengan demikian, ujian nasional sudah tidak lagi berhubungan dengan kepentingan pendidikan, tapi telah menjadi alat untuk mencapai kepentingan politik. Satu sisi bisa memuaskan kebutuhan pemerintah pusat, pada sisi lain mempermanis wajah birokrasi daerah supaya dianggap berhasil memajukan pendidikan.

Pada akhirnya, kebijakan ujian nasional kontraproduktif bagi pendidikan nasional. Tujuan yang ingin dicapai gagal total, sedangkan yang didapat hanyalah masalah. Kecurangan sistemik tidak hanya mengaburkan pemetaan mengenai kondisi pendidikan nasional, tapi juga berdampak buruk bagi guru dan murid. Kreativitas murid terkungkung. Mereka dipaksa mengalokasikan porsi belajar lebih besar pada mata pelajaran pilihan pemerintah. Padahal tujuan pendidikan sesungguhnya adalah membentuk manusia cerdas, penuh kreativitas, dan mandiri serta dapat mengatasi segala persoalan yang dihadapi. Semua tujuan ini akan tercapai jika murid diberi banyak waktu dan kesempatan untuk mengaktualisasi dirinya dalam berbagai macam pelajaran yang ada di sekolah.

Selain itu, atas alasan gengsi daerah dan sekolah serta memuaskan pemerintah pusat, semangat belajar dan bekerja keras para murid dan guru telah dihancurkan. Tidak ada lagi penghargaan bagi mereka yang mau bersusah payah belajar, karena semuanya sudah diambil alih oleh tim sukses ujian nasional. Dampak paling berbahaya adalah tertanamnya mental terabas di kalangan murid. Lewat kecurangan, mereka secara tidak langsung telah diajari agar tidak lagi menghargai proses. Cara apa pun boleh digunakan, halal ataupun haram, asalkan tujuan bisa tercapai. Tentu saja kondisi ini bertolak belakang dengan tujuan pendidikan.

Karena itu, apabila yang dijadikan solusi hanyalah menghukum atau memberi sanksi kepada daerah atau sekolah yang curang, masalah tidak akan selesai. Justru yang harus dilakukan pemerintah adalah menghilangkan akar masalah utamanya, yaitu kebijakan ujian nasional. Pemerintah harus mulai mengubah mental terabas dengan mental kerja keras. Apabila menginginkan mutu pendidikan bagus, harus dimulai dengan memberi pelayanan yang bagus pula.

Ade Irawan, MANAJER MONITORING PELAYANAN PUBLIK INDONESIA CORRUPTION WATCH, SEKRETARIS KOALISI PENDIDIKAN

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 6 Juli 2006

Sumber: http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=8421

Tidak ada komentar:

Posting Komentar